Sabtu, 22 Desember 2012

Perencanaan strategik dalam peningkatan mutu diPesantren



B.   Perencanaan strategik  dalam peningkatan mutu diPesantren
Secara umum aktivitas Perencanaan  adalah bagian dari manajemen yang ada dalam organisasi yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efektif.
Manajemen dapat diartikan sebagai proses menggunakan dan atau menggerakkan sumber daya manusia, modal dan peralatan lainnya secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu.[1] Sementara itu George R. Terry menjelaskan bahwa manajemen adalah kemampuan mengarahkan dan mencapai hasil yang diinginkan dengan tujuan dari usaha-usaha manusia dan sumber daya lainnya.[2] Mondy & Premeaux mengemukakan manajemen adalah cara-cara atau aktivitas tertentu agar semua anggota dapat bekerja sesuai dengan prosedur, pembagian kerja, dan tanggung jawab yang diawasi untuk mencapai tujuan bersama.[3]
Manajemen merupakan suatu proses pengelolaan sumber daya yang ada mempunyai empat fungsi yaitu perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Terry dalam Sutopo yang menyatakan bahwa fungsi manajemen mencakup kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan yang dilakukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.[4]
Tugas dan tanggung jawab pimpinan pesantren adalah merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi dan mengevaluasi seluruh kegiatan pesantren, yang meliputi bidang proses belajar mengajar, administrasi kantor, administrasi siswa, administrasi pegawai, administrasi perlengkapan, administrasi keuangan, administrasi perpustakaan, dan administrasi hubungan masyarakat.[5] Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai tujuan organisasional, pimpinan pesantren pada dasarnya mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan terhadap seluruh sumber daya yang ada dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pesantrennya.
Perencanaan (planning), merupakan keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditentukan.[6] Di dalam perencanaan ini dirumuskan dan ditetapkan seluruh aktivitas lembaga yang menyangkut apa yang harus dikerjakan, mengapa dikerjakan, di mana dikerjakan, kapan akan dikerjakan, siapa yang mengerjakan dan bagaimana hal tersebut dikerjakan. Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan dapat meliputi penetapan tujuan, penegakan strategi, dan pengembangan rencana untuk mengkoordinasikan kegiatan. Kepala pesantren sebagai top manajemen di lembaga pendidikan pesantren mempunyai tugas untuk membuat perencanaan, baik dalam bidang program pembelajaran dan kurikulum, kepegawaian, kesiswaan, keuangan maupun perlengkapan.[7] Setidaknya dalam Alquran perencanaan dijelaskan sedemikian tegas dalam Surat Al-Hasyr (59) ayat 18.
$pkšr'¯»tƒ     šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# öÝàZtFø9ur Ó§øÿtR $¨B ôMtB£s% 7tóÏ9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÇÊÑÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[8]
Penggerakan (actuating), adalah aktivitas untuk memberikan dorongan, pengarahan, dan pengaruh terhadap semua anggota kelompok agar mau bekerja secara sadar dan suka rela dalam rangka mencapai suatu tujuan yang ditetapkan sesuai dengan perencanaan dan pola organisasi. Masalah penggerakan ini pada dasarnya berkaitan erat dengan unsur manusia sehingga keberhasilannya juga ditentukan oleh kemampuan pimpinan pesantren dalam berhubungan dengan para guru dan karyawannya. Oleh sebab itu, diperlukan kemampuan kepala pesantren dalam berkomunikasi, daya kreasi serta inisiatif yang tinggi dan mampu mendorong semangat dari para guru/ karyawannya.[9]
Dalam perkembangan sekarang, menurut Kotter,[10] manajemen modern dalam prosesnya sering diringkaskan para praktisi sebagai berikut:
1.      Perencanaan dan pembuatan anggaran- menyusun target atau sasaran masa depan, secara khusus bagi bulan atau tahun depan; mengembangkan langkah secara rinci untuk mencapai semua sasaran, langkah yang mungkin mencakup jadwal kerja dan petunjuk, serta alokasi sumberdaya untuk mencapai semua rencana ini.
2.      Pengorganisasian dan penempatan- mebangun suatu struktur dan seperangkat pekerjaan untuk mencapai rencana yang diharapkan, menempatkan orang dalam pekerjaan dengan kemampuan khusus individu, mengkomunikasikan rencana kepada semua orang, yang menerima tanggung jawab untuk melaksanakan rencana dan membangun sistem  untuk memantau pelaksanaan,
3.      Pengawasan dan pemecahan masalah-hasil pemantauan berhadapan dengan rencana yang rinci baik formal maupun informal, dengan maksud bentuk laporan, pertemuan, dan lainnya; mengidentifikasi penyimpangan, dengan yang biasanya disebut masalah dan kemudian rencana dan pengorganisasian memecahkan masalah”.
Adapun untuk meningkatan mutu lulusan, Pimpinan memelurlukan perencanaan yang matang  dibeberapa bidang, yaitu :

1.        Perencanaan  Program Pendidikan.
            Setiap lembaga pendidikan pasti memiliki tujuan, yang dalam ilmu pendidikan disebut tujuan institusional . Dalam kaitannya  dengan pesantren, secara umum tujuan yang dimaksud adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi ulama  atau menguasai dan mengamalkan ilmu-ilmu agama serta menjadi muballigh ditengah-tengah masyarakat melalui ilmu dan amalnya.[11] Untuk mencapai tujuan ini, pimpinan atau pengelola pesantren seperti halnya lembaga pendidikan lainnya harus menyusun program kurikulum yang dinyatakan dalam struktur program.[12]
            Adapun yang dimaksud dengan kurikulum adalah semua kegiatan yang dirancang untuk pengembangan siswa selama mengikuti pendidikan. Kegiatan intra kurikuler adalah kegiatan-kegiatan pendidikan yang dikelompokkan  sebagai program utama, sedangkan kegiatan ekstra kulikuler adalah kegiatan-kegitan pendidikan yang kedudukannya sebagai tambahan atau menjadi pelengkap atau penyempurna terhadap program utama, sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya dapat tercapi dengan lebih baik.[13]
                        Dalam kaitannya dengan hal tersebut, walaupun pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan agama, semestinya pelajaran yang diajarkan tidak hanya terbatas kepada pelajaran-pelajaran agama. Pesantren juga harus mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum harus dilaksanakan selayaknya ilmu pengetahuan agama.[14]
            Pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum disini dimaksudkan agar lulusan pesantren yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dapat diterima, baik di perguruan tinggi agama ataupun umum.
            Bila dikaji secara mendalam, sebenarnya diajarkannya ilmu-ilmu pengetahuan umum di pesantren tidak hanya berlandaskan kepada tuntutan diatas. Suatu hal yang lebih penting lagi ialah pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan. Menurut Mastuhu bahwa dikotomi ilmu antara ilmu agama dan umum adalah warisan penjajah, dan tidak ada pemisahan yang benar-benar lepas antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum.[15]
2.        Manajemen Tenaga Pengajar dan Tenaga Administrasi.
            Untuk mendapatkan lulusan yang berpotensi perlu terlaksananya  program pendidikan  dan pengajaran yang terencanakan dengan baik, dibutuhkan adanya tenaga pengajar dan administrasi.  Karena dalam pengelolaan lembaga pendidikan juga terdapat atau harus dilaksanakan manajemen tenaga pengajar dan administrasi, yakni proses yang berkenaan dengan penerimaan, penggunaan dan pembinaan terhadap pengajar dan administrasi secara efesien untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.[16]
            Penerimaan tenaga pengajar dan tenaga administrasi adalah usaha yang dilakukan untuk mengisi jabatan atau tugas-tugas yang masih kosong.[17]  Dalam kaitannya dengan hal ini, persoalan kompetensi merupakan suatu hal  yang patut diperhatikan. Tenaga yang diterima harus memiliki kualifikasi  sesuai dengan yang dibutuhkan, baik kualitas maupun kuantitasnya, hal ini terutama sekali berkaitan dengan guru atau tenaga pengajar. Karena tugas guru merupakan profesi yang membutuhkan keahlian sebagai guru, profesi ini tidak bisa dilakoni oleh sembarang orang.[18]
            Untuk berdaya gunanya tenaga-tenaga yang telah diterima, maka dipandang sangat perlu dilakukan pengorganisasian. Dalam kaitannya dengan hal ini, langkah yang harus dilaksanakan adalah penyusunan struktur, mekanisme kerja, hubungan kerja sama dan pendistribusian tugas sekaligus pemberian wewenang dan tanggung jawab.[19]
3.        Manajemen Keuangan dan Sumbernya.
            Dalam penyusunan anggaran pendapatan, pimpinan pesantren harus meginventarisir sumber-sumber dana yang ada dan memperhitungkan besar dana yang akan diperoleh. Setelah itu disusun anggaran pengeluaran, yakni membuat daftar pengalokasian dana berdasarkan prioritas kebutuhan.
            Sesuai dengan kenyataan, seluruh pesantren masih bersifat swasta, sehingga seluruh dana operasinya bersumber dari kekayaan sendiri, wakaf, hibah, bantuan dan iuran santri. Kondisi ini jelas menuntut kreativitas pimpinan pesantren untuk senantiasa mengadakan pengembangan sumber keuangan.
            Dalam kaitannya dengan hal di atas, suatu hal yang penting dipertimbangkan pimpinan pesantren adalah membuka lahan-lahan produktif sendiri. Dalam pengelolaanya pimpinan pesantren dapat melibatkan tenaga-tenaga pengajar dan administrasi, santri-santri. Usaha ini selain dapat menambah pendapatan pesantren juga menjadi sarana untuk membina keterampilan santriwan/wati.[20]


4.      Manajemen Pengembangan Sarana.
            Dalam konteks lembaga pendidikan, yang dimaksud dengan sarana ialah seluruh fasilitas yang dibutuhkan dalam proses belajar-mengajar, baik yang bergerak atau tidak supaya pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan  lancar, efektif, teratur dan efesien. Di dalamnya tercakup antara lain: (a) alat-alat yang langsung digunakan, seperti alat pelajaran, alat peraga dan media pendidikan dan (b) alat-alat yang tidak langsung terlibat dalam proses kegiatan belajar, yakni ruangan belajar dan kantor, meja guru, perabot kantor, kamar kecil perpustakaan dan lain sebagainya. Khusus bagi pesantren, harus ada masjid sebagai ruangan sholat dan untuk keperluan lainnya.
            Keseluruhan sarana atau fasilitas tersebut harus direncanakan pengadaan dan pengembangannya. Hal ini dimaksudkan agar sarana-sarana yang bersifat vital dapat lebih diutamakan dan penataannya memenuhi syarat-syarat kesehatan dan nilai-nilai estetika. Dengan demikian keberadaan sarana tersebut benar-benar mendukung kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan program pendidikan yang telah dirumuskan.[21]


[1]AKA Kamarulzaman dan M. Dahlan Y. Al-Barry, Kamus Ilmiah Serapan (Yogyakarta: Absolut, 2005), h. 431.
[2]George R. Terry, The Principles of Management (Illionis: Richard D. Irwin Inc., 1973), h. 4.
[3]Mondy R Wayne & Premeaux Shane R, Management: Concepts, Practices an Skills (Massachussestts: Allyn and Bacon Inc., 1988), h. 4.
[4]Sutopo, Administrasi, Manajemen dan Organisasi (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999), h. 14. 
[5]Burhanuddin, Analisis Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 29.

[6]Sondang P.  Siagian, Fungsi-Fungsi Manajerial (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 50.
[7]Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998), h. 107.
  [8] Alquran in word
[9]Soewadji Lazaruth, Kepala Sekolah dan Tanggung Jawabnya (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h.. 4.
[10] John P  Kotter, A Force For Change: How Leadership Differs from Management.  (New York: The Free Press, 1996).h.4..

[11] M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 248.
[12] Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Adminsitrasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 71.
[13] Ibid., h. 59.
[14] Nurchalish Madjid,Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 94.
[15] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 278.
[16] Suharsimi Arikunto, Organisasi dan Adminsitrasi, h. 79.
[17] Piet A. Sahertian, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Naional, 1985), h. 163.
[18] Piet A. Sahertian, Dimensi-Dimensi Administrasi Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, 1985), h. 163.
[19] Ahmad Rohani, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 16.
[20] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 105.
[21] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar