Pemikiran Pendidikan Islam
PEMIKIRAN IBNU SINA
A.
Pendahuluan
Ibnu
Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya,
bahkan dunia Barat juga menyanjungnya, di Barat Ibnu Sina di kenal dengan nama Avicenna, ia bagaikan satu bintang
gemerlapan yang memancarkan cahaya
sendiri, yang bukan pinjaman. Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ia juga seorang penyair.
Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa di abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai universitas. Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[1]
Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa di abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai universitas. Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[1]
Ibnu
Sina lebih dikenal sebagai seorang filosof juga ia ahli di bidang kedokteran, ini terbukti dengan karya monumentalnya dibidang kedokteran yaitu "Al-Qanun fit-Thibb" selain itu ia juga tercatat
sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang membawa
kemajuan di dunia Islam. Hal ini terbukti dari beberapa kajian yang dilakukan peneliti generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina ditemukan
beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam
.
Sosok
Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim, ia seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan
filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para
pelajar Barat.
Ibnu
Sina adalah Bapak Filsafat Muslim, dimana pandangan sebagian orang mengatakan bahwa Filsafat itu membingungkan. Namun dari filsafat itulah
kita dapat mengetahui esensi suatu hal. Hingga kini, filsafat
masih saja menjadi kajian wajib di berbagai ajang pendidikan. Dalam Islam juga
ada filsafat Islam, filsafat yang mengupas tentang keberadaan Islam itu
sendiri. Dan salah satu pengembangnya adalah Ibnu Sina, seorang dokter, ulama',
psikolog, seniman, bahkan politisi.
Pada makalah ini, penulis akan
memaparkan tentang Profile Ilmuan Ibnu Sina yang meliptuti Biografi Ibn Sina
yang mencakup pendidikanya dan guru-gurunya, Metode Ilmiahnya, Karya-karya
Utamanya. Pengaruh dan pemikirannya dan Pelajaran dari Karakter personal dari
karirnya sebagai ilmuan, dan diakhiri sebuah kesimpulan sebagai penutup.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Ibnu Sina.
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Husain Ibn Abdillah Ibnu Sina. la lahir pada tahun 980 M di Asfahana, suatu tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota
Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat
oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di
kota ini ayahnya menikahi Sattarah dan dikaruniai tiga orang anak yaitu : Ali,
Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad, ia
mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun
telah mampu menghafal al-Qur'an,
sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles,
setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin
Yahya, seorang Masehi. Dalam usianya yang belum melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori-teori kedokteran
yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sampai pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan
sangat baik sekali dikalangan masyarakat[2],
Ibnu Sina juga dikenal produktif
dalam berkarya. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat
adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-lsyarat
wat-Tanbihat, An-Najat adalah
resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat wat-Tanbihat, dikarangkannya
kemudian, untuk ilmu tasawuf Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur
adalah Al~ Qanun (di barat terkenal
dengan sebutan Canon of Medicine)
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Selain itu,
masih banyak lagi karangan-karangan lain
di bidang filsafat, etika, logika, dan psikologi.[3]
Ibnu Sina belajar mengenai ilmu
logika dari gurunya Mutafalsir Abu Abdullah Natili, ia mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Eucliddan
At-Magest-Ptolemus, Setelah gurunya pindah, ia mendalami ilmu agama dan
metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan
bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan kecerdasannya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhannya dalam belajar cukup
mengagumkan, ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali
dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles,
kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet fhabie 'ah li li
Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan
penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala
simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia
menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[4]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam
belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan
banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. la tidak cukup dengan
teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit.[5]
Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap
kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya
petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering ia
tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan- kesulitan yang dihadapinya.[6]
Sewaktu berumur 17 tahun, ia telah
dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh
Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat
sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan
buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan.
Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa
lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[7]
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran
dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,
dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain
lengkap, disusunnya secara sistematis. Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap
sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Selain kepandaiannya sebagai filosof
dan dokter, ia juga seorang penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa,
kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula
didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan
buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa di
abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam
abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[8]
2. Metode
Pemikiran Ibnu Sina
Dalam hal metode berpikir untuk memecahkan
suatu persoalan, Ibnu Sina sangat mengutamakan logika (akal), fikiran adalah
satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu
yang tidak diketahui.[9]
Jalan fikirannya bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan
argumentasi ontologia.
Menurut Ibnu Sina , ada tiga macam
sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada
sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua,
berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang
menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan
dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal
seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[10]
Segi fisika, yang membicarakan
tentang macam-macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: Makan (nutrition),
Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction).
Jiwa binatang dengan daya-daya:
Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian : Menangkap dari
luar dengan panca indera dan Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
a. Indera
bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
b.
Representasi, yang menyimpan segala
apa yang diterima oleh indera bersama.
c.
Imajinasi, yang dapat menyusun apa
yang disimpan dalam representasi.
d.
Estimasi, yang dapat menangkap hal-bal
abstrak yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari
anjing serigala.
e.
Rekoleksi yang menyimpan hal-hal
abstrak yang diterima oleh estimasi,[12]
Jiwa manusia dengan daya-daya :
a. Praktis,
yang hubungannya dengan badan.
b.
Teoritis, yang hubungannya adalah
dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a.
Akal materil, yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih sedikitpun.
b.
Akal actual, yang telah dapat
berfikir tentang hal-hal abstrak.
c.
Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[13]
2.
Segi metafisika, yang membicarakan
tentang Wujud dan hakikat jiwa,
pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang
terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi
sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang Wujud terdapat di luar akal. Wujudlah
yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu Wujud lebih penting dari esensi. Kalau dikombinasikan, esensi dan Wujud dapat mempunyai kombinasi berikut
:
1. Esensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani' yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud. Sebagai contoh adanya kosmos lain disamping kosmos yang ada.
2.
Esensi yang boleh mempunyai Wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut mungkin yaitu sesuatu yang mungkin berWujud tetapi mungkin pula tidak berWujud Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.
Esensi yang mesti mempunyai wujud.
Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan Wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak
berWujud dan kemudian berwujud, tetapi
esensi mesti dan wajib mempunyai Wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berWujud yaitu Tuhan.
Dan wajib al Wujud inilah yang
mewujudkan mungkin al wujud.[14]
Ibnu Sina merupakan murid al
Farabi, jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan
antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya
membedakan Wujud dari esensi dan
menetapkan bahwa Wujud sesuatu bukan
merupakan bagian dari esensinya.
Kita bisa membayangkannya tanpa
bisa mengetahui ia ada atau tidak. Sebab, Wujud
merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadannya.
Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa Allah SWT, yang
wujudnya tidak berpisah dari substansinya.
Berdasarkan jalan pikiran semacam ini,
al Farabi dan Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian
yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya
sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisik.[15]
Hamzah Ya'kub menambahkan bahwa
Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Dengan kata
lain, Ibnu Sina memandang hubungan sebab akibat dan betapakah sebab itu, datang
pula Tuhan sebagai sebab. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak
terus-menerus dalam Wujud yang ada,
sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[16]
3.
Karya-karya
Ibnu Sina
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh
penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Sebagai pemikir yang inovatif dan
kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya.
Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang
membakamya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali
Ibnu Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan
oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian.
Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke
Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian
ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual.
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu
Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena
bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam
bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun
1954. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resume dari kitab As-Shifa.
Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu,
ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kcbanyakan
maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru
dan segera dikarangnya.[17]
Ibnu Sina berhasil menulis sekitar
dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah Qanun yang merupakan ikhtisar pengobatan
Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin
dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Diantara
karangan-karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa',
buku filsafat yang terpenting dan terbesar. Buku ini terdiri atas empat bagian,
yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Ketuhanan).
2.
Al-Qanun,
buku ini adalah buku Imu kedokteran.
3.
Sadidiyya.
buku ilmu kedokteran
4.
Al-Musiqa.
buku tentang musik.
5.
Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
6.
Qamtts
el Arabi, terdiri atas lima jilid.
7.
Danesh
Namesh, buku filsafat.
8.
Uyun-ul
Hikmah, buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
9.
Mujiz,
kahir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar
ilmu logika secara lengkap.
10. Hikmah el' Masyriqiyyin.
Falsafah Timur.
11. Al-lnshqf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
12. Al-Hudud.
Berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu
filsafat.
13. Al-Isyarat wat Tanbiehat.
Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
14.
An-Najat, yang merupakan ringkasan buku Asy-Syifa. Buku ini pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun,
mengenai ilmu kedokteran, pada tahun 1593 M di Mesir.[18]
4.
Pengaruh
Pemikiran Ibnu Sina
Pengaruh pemikiran Ibnu Sina baik dibidang filsafat, Jiwa, kedokteran maupun yang
lainnya, sangatlah berdampak positif atau sangat banyak manfaatnya dalam
memunculkan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, seperti halnya Teori emanasi.
Teori emanasi yang mengandung arti
"memancar", "mengalir",
dan "melimpah" merupakan proses penciptaan alam semesta ini, dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah Malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril[19],
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham emanasi.[20]
Menurut Ibnu Sina, Allah
mcnciptakan alam ini melalui emanasi, dalam
arti bahwa Wujud Tuhan melimpahkan Wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi
melalui tafakkur (bertikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari
peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt
tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang
memberi Wujud kekal dari segala yang
ada.[21]
Filsafat emanasinya Ibnu Sina atau
yang disebut dengan al-faidh merupakan pengembangan dari filsafat Plato,
Aristoteles dan al-Farabi. Konsep al faidh Ibn Sina tidak jauh berbeda dengan
konsep yang dimiliki oleh al Farabi dan konsep-konsep emansipasi para pendahulunya. Konsep ini digunakan sebagai penjelas
secara rasional tentang kemunculan keragaman. Dimana puncak tertinggi ditempati
oleh Tuhan (wajib al wujud).
Penempatan tertinggi oleh wajib al Wujud dikarenakan Ia merupakan
Akal, Akil. dan Ma'qui dengan dzatnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Sina sebagai berikut.[22]
(Setelah disebutkan bahwa wajib
al Wujud itu ada, maka selanjutnya kita katakan bahwa yang wajib al Wujud dengan dzatnya adalah
akal, akil dan ma'qul. Kita mengatakan la sebagai hakekat yang ma 'qul adalah
bahwa kita mengetahui sesungguhnya wujud-dipandang sebagai wujud-bukanlah hal
yang tidak mungkin/terlarang untuk berfikir. Wujud dikatakan tidak berfikir apabila ia berada di dalam materi,
atau terbatas oleh sifat-sifat materi, karena apabila demikian maka ia bersifat
dapat dirasa atau dapat dibayangkan. Jadi Wujud
seperti kita utarakan sebelumnya-yang terlepas dari penghalang tersebut
adalah Wujud dan hakikat yang ma’qulah. Dan segala sesuatu yang dengan
zatnya murni dari materi dan sifat-sifat materi, maka Wujud tersebut dengan zatnya adalah hakikat yang ma’qulah. Yang pertama (wajib al Wujud sebagai akal) adalah bahwa wajib al Wujud murni dari materi dan sifat
materi, jadi Wujud tersebut dipandang
sebagaimana ia adalah identitas yang murni yang berupa akal. Selanjutnya karena
Ia murni baginya karena dzatnya, karena itu ia adalah ma'qul karena dzatnya.
Selanjutnya karena dzatnya merupakan identitas murni baginya maka ia adalah
akil (yang berfikir) tentang dzatnya. Jadi yang ma'qul adalah yang hakekat yang
murni dari sesuatu (hakekatnya tidak
membutuhkan sesuatu), yang
akil adalah yang mempunyai hakekat murni dari sesuatu, dan
tidaklah menjadi mesti dua hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda akan
tetapi mutiak sama. Karena
ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu maka ia adalah akil dan karena
hakikatnya murni dari sesuatu maka ia adalah ma'qul. Jadi sesuatu (akal) itu
adalah dzatnya. Dia akil karena ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu
yakni dzatnya, ia ma'qul karena hakekatnya murni dari sesuatu yakni
dzatnya.....).
Berdasarkan penjelasan Ibn Sina
diatas dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai wajib
al wujud, yang menempati kedudukan tertinggi merupakan Akal, juga Akil
bahkan Ma'qul. Wajib al Wujud sebagai Akal karena Ia murni dari
materi dan sifat materi.[23] Wajib
al Wujud juga berperan sebagai Akil (segala sesuatu yang padanya terdapat hakekat yang murni)
karena Ia mempunyai hakekat murni dari dzat-Nya, kemudian wajib al Wujud juga berperan sebagai ma'qul (hakekat yang murni
dari sesuatu/segala sesuatu yang berupa hakekat yang murni yang eksis karena
sesuatu), adalah karena tidak mustahil Wujud
(Tuhan) itu, melakukan "berpikir".[24] Selain itu juga karena Tuhan tidak
berada dalam materi, maka Tuhan adalah ma’qulah
yakni bebas dari materi dan sifat-sifat materi.[25]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah,
dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran ; Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.[26]
Pada wajib al Wujud kemudian mengalir akal pertama (al Ma'lul al Awwal), munculnya akal pertama ini sebagai akibat
"berpikirnya" Tuhan tentang diri Nya sendiri.[27]
(oleh karena itu, la adalah Akal, sekaligus
Akil dan Ma'qul, yang sama sekali tidak mengharuskannya bersifat banyak). Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hakikat yang dipikirkan oleh Tuhan (Wajib al
wujud) tersebut?. Menurut Ibn Sina, adapun hakikat ma’qulah yang dipikirkan oleh Wajib al Wujud adalah ‘ilm, qudrat, dan iradah Nya sendiri dan tentu dalam standar pemikiran Nya.[28]
(Adalah mesti apa yang wajib al Wujud
pikirkan tentang aturan kebaikan dalam wujud, (tentu ia juga)
memikirkan bagaimana itu mungkin terjadi, bagaimana agar itu lebih baik (wajib al wujud) memikirkan bagaimana agar Wujud itu eksis dengan sebaik-baiknya)
tentu sesuai dengan muqtada (standar) pemikirannya. Hakikat ma 'qulah yang
dipikirkan oleh wajib al Wujud adalah
dirinya sendiri, sesuai dengan pengetahuan saya, adalah ilmu, Qudrat dan
Iradah, sementara kita (dalam hal ini) untuk mewujudkan apa yang kita bayangkan
membutuhkan kesengajaan/tujuan, lalu gerakan lalu kemauan hingga
hal tersebut tcrwujud (maksudnya wajib al Wujud tidak membutuhkan gerakan
untuk mewujudkan sesuatu karena ia mengetahui, berkuasa dan berkeinginan). Hal
itu (seperti
cara manusia mewujudkan sesuatu) tidak mungkin bagi wajib al Wujud dan tidak benar karena ia sempurna/terlepas dari
sifat dua (dzatnya terbagi terbagi kepada dua) seperti yang telah kita jelaskan
sebelumnya).
Maksudnya bahwa Wajib al Wujud (Tuhan) memikirkan
dzat-Nya bahwa Ia Maha Mengetahui segala sesuatu (‘ilm), Ia berpikir bahwa Ia Maha Berkuasa (qudrat), Ia berpikir
bahwa Ia Maha
Kuasa, Maha lngin (Iradah), dan dari aksi tersebut maka muncullah Wujud (maujudat) lain.
Jadi. berfikirnya wajib al Wujud merupakan
illah[29]
bagi Wujud yang dipikirkan Nya
(dzat-Nya) dan bagi Wujud (akal
setelahnya) yang muncul dari wujudnya (akal pertama) dan yang
mengikuti wujudnya (bintang-bintang/planet-planet), akan tetapi Wujud yang lain itu (akal pertama maupun bintang-bintang tersebut) bukan menjadi sebab bagi Wujud Tuhan (wajib al wujud).
Oleh karena itu jelaslah bahwa wajib al Wujud adalah aktor (fail) bagi
segala sesuatu. dikatakan demikian karena la adalah maujud yang dari-Nya
mengalir (faid) segala Wujud dengan
cara mengalir (faid) yang sempurna dan mubayin (meninggalkan/terpisah) bagi
dzatnya. Dan karena yang muncul dari wajib
al Wujud tersebut adalah dengan cara yang luzum (mesti/lazim), maka benar
jika dikatakan bahwa wajib al Wujud dengan
dzat adalah wajib al Wujud nya dari
segala sisi pandang. Jadi tidak mungkin maujudat-maujudat pertama yang berasal darinya, yakni mubdiat (maksudnya
adalah akal satu hingga sepuluh), banyak, tidak berjumlah, tidak terbagi kepada
bentuk dan materi, karena maujudat-maujudat
tersebut eksis karena lazim/mesti dari Wujud
Wajib al Wujud karena dzatnya, bukan karena hal lainnya.
Selanjutnya dari akal pertama
kemudian mengalir lagi akal kedua, sebagai alfaid dari pemikiran akal pertama
tentang Tuhan, lalu mengalir jiwa (nafs) sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang
dirinya sebagai wajib al wujud li ghairihi,
dan raga (jism) falak al
muhith sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai
mumkin al Wujud li dzatihi, Akal kedua juga melakukan yang sama, dan mengalirkan
akal ketiga beserta jiwa dan raganya.
Proses al faidh itu terus berjalan hingga mencapai intelegensi kesepuluh
yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut Malaikat
Jibril. Nama ini diberikan, karena ini memberikan bentuk atau
"memberitahukan" materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal
manusia. Karena itu, ia juga disebut "Pemberi Bentuk" (dator formarum menurut sarjana-sarjana Barat
abad pertengahan).
Adapun
peran dan fungsi akal X
(Ruhul Kudus) dalam pandangan Ibn Sina
antara lain:
1.
Mengalirkan dan berhubungan
langsung dengan jiwa-jiwa yang terdapat dibumi. Pada pandangan Ibn Sina, jiwa
merupakan sesuatu yang memiliki Wujud tersendiri.
Jiwa akan tercipta setiap kali badan lahir dan dapat menerima jiwa tersebut.[30]
Tugas jiwa adalah berpikir, karenanya ia membutuhkan badan manusia yang
memiliki fungsi-fungsi fisik. Dan untuk memperoleh konsep dan ide dari alam
sekitamya diperlukan pancaindera dan daya batin jiwa binatang (makan, tumbuh,
berkembang, bergerak, dan menangkap) terlebih dahulu, baik yang meliputi indera
bersama, estimasi maupun rekoleksi.
Jiwa binatang dan tumbuhan yang
terdapat dalam badan manusia akan hancur bersamaan dengan matinya badan. Dan ia
(jiwa tersebut) tidak akan dibangkitkan kembali di hari kiamat. Karena balasan
bagi kedua jiwa tersebut telah diberikan di dunia. Sebaliknya, untuk jiwa
manusia yang bertujuan pada hal-hal abstrak, akan memperoleh balasannya di
akhirat.[31]
Adapun yang menciptakan dan mengalirkan jiwa-jiwa ini adalah akal X (Ruhul
Kudus). Menurut Ibn Sina, jiwa terbagi dalam tiga macam, yakni:
a.
Jiwa tumbuh-tumbuhan, yang terdapat
potensi:
1) Potensi
Makan
2)
Potensi Tumbuh
3)
Potensi Mengembang biak
b.
Jiwa binatang, selain memiliki
ketiga potensi diatas, juga terdapat potensi:
1) Potensi
Menggerakkan
2)
Potensi Menangkap, baik dengan.
(a) Indera
Luar
(b)
Indera Dalam, terdiri dari:
1) Potensi indera bersama (menerima
semua yang ditangkap oleh pancaindera).
2)
Potensi khayal atau menggambarkan
(menyimpan semua yang diterima oleh indera bersama).
3)
Potensi imajinasi (menyusun apa
yang disimpan dalam potensi khayal).
4)
Potensi Waham/estimasi (menangkap
makna-makna yang tersimpul dalam benda-benda
inderawi, seperti daya waham pada kambing yang dapat menangkap makna-makna berbahaya dan lari ketika melihat dengan mata kepalanya kedatangan musuh).
5)
Potensi ingat (menyimpan
makna-makna yang dihasilkan oleh potensi waham).
c. Jiwa
manusia, terdiri dari potensi jiwa
tumbuhan, potensi jiwa binatang, juga terdapat potensi khusus yang
membedakannya dengan tumbuhan dan binatang,[32]
yakni:
1) Potensi
berpikir praktis (untuk mengendalikan tingkah laku badan).
2)
Potensi berpikir teoritis (untuk
menangkap makna-makna yang abstrak). Untuk potensi berpikir teoritis ini,
akal manusia dapat terus mengalami
peningkatan, yakni:
(a)
Akal potensial (al 'aql al hayulani) yakni
kemampuan akal teoritis yang berada pada taraf potensi.
(b)
Akal malakah (al 'aql bi
al malakah),
yaitu akal yang mampu mengetahui prinsip-prinsip dasar tanpa perlu argumentasi
atau renungan, seperti prinsip keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
(c)
Akal actual (al 'aql bi al fi'li),
yakni akal yang telah terlatih melalui renungan atau argumentasi untuk berpikir
tentang prinsip-prinsip yang diabstraksikan dari realitas empiris.
(d)
Akal mustafad (al 'aql al mustafad),
yakni akal yang telah mampu menerima limpahan pengetahuan tentang
subtansi-subtansi imateri dari
akal aktif (al 'aql al fa 'al).
2.
Mengatur dan mengendalikan secara
tidak langsung raga-raga yang terdapat dibumi.
Akal X adalah pengatur tidak
langsung terhadap raga-raga yang terdapat di bumi, dan pengendali masing-masing
raga itu secara langsung adalah jiwa masing-masing. Manusia misalnya sebagai
makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa rasional, maka yang dimintai
pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya, karena jiwanya itulah yang
menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan akal X hanyalah
pengatur secara tidak langsung tubuh manusia. Akal X yang berhubungan dengan
langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasuk jiwa manusia, disebut dalam
filsafat Ibn Sina sebagai akal aktif (al 'aql alfa'al) yang menggerakkan
sesuatu yang potensial di bumi menjadi sesuatu yang aktual.
3.
Menyampaikan pesan Tuhan pada
manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, sebagian manusia
dianugerahi Tuhan akal potensial
yang begitu kuat, sehingga mereka tidak memerlukan latihan yang cukup keras
untuk dapat berhubungan dengan akal aktif (al 'aql al fa'al /Ruhul Kudus). Tanpa belajar atau latihan, akal potensial yang
sedemikian kuat dapat dengan mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan
melalui akal aktif (Ruhul Kudus). Dan potensi
yang dimiliki ini disebut al hads
(daya luar biasa) atau al quwwah al qudsiyyah (daya suci).
Itulah potensi atau daya tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan
mereka yang mendapat anugerah tersebut hanya pada manusia pilihan yakni para
nabi.
4.
Memberikan limpahan pengetahuan
atau ide-ide pada manusia selain manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, jiwa manusia
biasa (selain nabi/rasul) juga dapat mencapai kesempurnan jiwa hingga
memperoleh limpahan pengetahuan atau ide-ide dari akal
aktif (Ruhul Kudus).Tetapi jalan hingga mencapai kesempuranaan itu tidak
sama seperti yang diperoleh para nabi/rasul. Karena untuk mencapai itu, manusia
harus melalui usaha yang sungguh-sungguh hingga jiwa yang berada pada akal
teoritisnya dapat terus berkembang dan beraktual mencapai akal mustafad (akal
perolehan).
Setiap manusia yang telah mencapai
akai mustafad (akal perolehan) maka akan mampu memperoleh limpahan pengetahuan
dari akal aktif (Ruhul Kudus). Dan mereka yang mendapatkan kesempatan ini
adalah para filosof. Dengan demikian terlihat bahwa besarnya peran akal
teoritis pada manusia, karena adanya potensi akal ini yang dapat meningkat,
membuat manusia memperoleh limpahan pengetahuan dari akal aktif (Ruhul Kudus).
Tidak hanya peran akal teoritis,
peranan potensi berpikir praktis juga cukup menentukan. Potensi itu harus
mengaktual dengan sedemikian rupa sehingga mampu mengetahui baik dan buruknya
suatu perbuatan, serta mampu mengontrol badan atau mengendalikan dorongan
syahwat dan marah, dengan demikian dorongan tersebut tidak menjadi penghalang
bagi potensi berpikir teoritis untuk mengaktualkan diri sampai ketingkat
sempurna.
5.
Pelajaran
dari Karakter Personal dan Karirnya sebagai Ilmuan
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak
memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern, la adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Banyak sekali pelajaran dari
karakter yang dimiliki Ibnu Sina, Ibnu Sina merupakan seorang ilmuan yang dapat menguasai berbagai macam bidang keilmuan
seperti filsafat, teologi, kedokteran bahkan ilmu yang berkaitan dengan
pendidikan. Pada era sekarang ini jarang ditemukan seorang ilmuan yang berlian yang menguasai berbagai macam ilmu
pengetahuan, hal ini menggambarkan
bahwa Islam memerintahkan agar pemeluknya untuk menggali berbagai macam
disiplin keilmuan seperti yang dimiliki oleh Ibnu Sina.
Cukup besar sekali pengaruh
pemikiran Ibnu Sina. Di Timur, sesungguhnya sistem Ibnu Sina telah mendominasi
tradisi falsafah Muslim sampai zaman modern ketika disejajarkan dengan beberapa
orang pemikir Barat oleh mereka yang terdidik di Universitas-Universitas
modern. Di Madrasah-madrasah yang dikelola secara tradisional, Ibnu Sina masih
dipelajari sebagai filosof Islam terbesar. Ini karena tak adanya penggantinya
dengan orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang menghasilkan
sistem yang mengikuti jejaknya.
Pengaruh diatas terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem
yang baik, tetapi karena sistem yang ia canangkan tersebut menampakkan keoriginilan yang menunjukkan jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang dibutuhkan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh
lagi dalam sistem keseragaman Islam.
Pemikiran Ibnu Sina telah
mendominasi tradisi falsafah Islam tentunya tidak berarti mengatakan bahwa ia
telah mendominasi tradisi Islam itu sendiri. Tetapi sebaliknya, pengaruh Ibn
Sina yang sepadan dengan pengaruh falsafahnya di dalam Islam dengan tiba-tiba
dan dengan tajam mengecil setelah polemik-polemik terhadap al-Ghazali dan kemudian
menurun dan nyaris lenyap. Ia masih terus dibaca di madrasah-madrasah hanya
sebagai latihan dasar intelektual para siswa teologi, bukan untuk
memfalsafahkannya kembali melainkan untuk menyangkal atau menolak falsafah.
Faktor-faktor penunjang dari situasi ini adalah kekakuan formal dari teologi
yang dogmatis dan kenyataan bahwa akal manusia itu sendiri menjadi dicurigai
karena adanya ketidak sesuaian ajaran-ajaran tertentu Ibn Sina dengan teologi
ini (di samping tentunya adanya alasan sosial politik, pendidikan dan ekonomi).
Konsep-Konsep Ibn Sina tentang keabadian dunia tidak hanya menghina ortodoksi
tetapi juga menghina doktrin-doktrin sendiri yang dikembangkan dengan perhatian
istimewa kepada Islam, seperti misalnya doktrin tentang kenabian. Namun barang
kali tujuan teologisnya yang terbesar adalah penolakannya terhadap kebangkitan-kebangkitan tubuh. Akan tetapi pemikirannya di bidang kedokteran menjadi
rujukan bahkan dipergunakan buku-buku karangannya itu sebagai textbook, diberbagai universitas Barat
dan Timur.
Karya-karya lbnu Sina diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin di Spanyol pada pertengahan abad ke 6 K ke- 12 M.
Pengaruh pemikirannya di Barat telah mendalam dan terbentang luas. Pengaruh lbn
Sina di Barat mulai merembes secara nyata sejak masa Albert yang agung, Santo
dan guru termasyhur St.
Thomas Aquines. Metafisaka dan teologi Aquines
sendiri tak dapat dimengerti tanpa
pemahaman tentang jasa yang ia terima dari lbn Sina. Semua orang dapat melihat
pengaruh lbn Sina bahkan juga dalam karya-karya Aquines mutakhir dan terbesar seperti Summa Theologica dan Summa
contra Gentiles.[33]
C. Penutup
lbnu Sina adalah ilmuan muslim yang
mahir di banyak bidang seperti kedokteran, politik, kesenian, dan filsafat. la
juga seorang yang produktif menelurkan karya. Sebagai seorang ilmuan yang
berhasi) menulis sekitar dua ratus lima puluh karya, di antara karyanya yang
paling masyhur adalah "Al-Qanun fit-Thibb"
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.
Buku ini di terjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat. kitab ini selain lengkap, disusun secara sistematis. Dalam
bidang materia medica, lbnu Sina juga telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga, dimana
tumbuh-tumbuhan banyak membantu tcrhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
lbnu Sina juga seorang ilmuan yang
pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali
mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat
tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan
penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dia juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik
dalam Islam. Kitab ini terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat
yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Amin Hoesin, Oemar, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Ahmad, Zaenal Abidin, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1949.
Dasoeki,Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam
(Semarang : Dina Utama Semarang,
1993.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta. Bulan Bintang, Cet.Vl, 1996.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penj.
Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Cet. Ill, 2004.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya
Media Pertama, 2002.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
______________,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Poerwantana dkk, SelukBeluk Filsafat Islam, Bandung . Rosda Offset, 1988
Rahardjo, M. Dawam, Insan
Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam ", Jakarta : Pustaka
Grafitipers, 1987.
Sina, Ibnu, an-Najah: ft I al Hikmah al-Mantiqiyah wa al Tabi'iyyyah wa al
Ilahiyyah, disyarah
oleh Majid Fakhri, Beirut: Dar
al Afaq al-Jadidah, t.t.
Ya'kub, Hamzah, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, Jakarta;
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
[3] Ibid, h. 116-117
[4] H.
Zaenul Abidin
Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan
Fllosuf Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang. 1949), h. 49.
[6] Ibid.
[9] Hamzah
Ya'kub, Filsafat Agama: Titik Temu akal
dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992). h. 41.
[10] Ibid
[11] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Pcnetbit Universitas Indonesia,1985, cet.V), h. 34-35.
[12] Hasyimsyah,
Filsafat Islam, (Jakarta: Pcnerbit
Gaya Media Pertama, Ct. VI, 2002), h. 72-73.
[13] Ibid
[15] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Penj. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Ct. ll,
2004), h. 120-121
[16] Hamzah
Ya'kub, h. 42.
[17] Ibid
[18] Thawil
Akhyar Dasoeki.
Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Scmarang : Dina Utama Scmarang, 1993). h. 37-39.
Lihat juga Poerwantana dkk. Seluk
Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Orfscl. 1988). h, 146.
[19] M.
Dawam Rahardjo. Insan Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam", (Jakarta : Pustaka Grafilipcrs. 1987). h. 62.
[20] Istilah
Emanasi ini mendapat penafsinan sebagai
"memancar'. "mengalir", dan 'mclimpah" Lihat M. Dawam
Rahardjo. Insan Kamil, h. 62.
[21] Ibid. h. 62-64.
[22] Ibn
Sina, an-Najah: fil al llikmah
al-Mantiqiyah wa al Tahi 'iyyyah wa al
llahiyyah. Disyarah oleh Majid Fakhri (Beirut: Dar al Afaq al-Jadidah. t.t.), h. 280
[24] Dalam
tcori umum.
scsuatu yang
bcrpikir
sclalu membutuhkan
yang dipikirkan. atau yang bergerak selalu membutuhkan yang digerakkan. namun "berpikir" nya Tuhan tidak memerlukan scsuatu yang lain. Scpcrti yang diungkapkan olch Ibn Sina dalam kilab an
Najah (h. 280
) bahwa:
(Apabila kila pikirkann scbcntar kita akan mengetahui yang bcrfikir pasti membutuhkan yang dipikirkan, Akan tetapi proposisi ini tidak bcrarti bahwa yang dipikirkan
tersebut adalah sesuatu yang lain dari yang berfikir, juga bahwa yang menggcrakkan membutuhkan scsuatu yang digcrakkan. Namun proposisi
ini tidak mengaharuskan bahwa yang bergcrak itu adalah scsuatu yang selain yang menggerakkan tersebut. Karena
itu kita bisa mcngatakan bahwa sesuatu bergerak dengan dzatnya kccuali ada bukti scbaliknya.
Dan tidak menjadi harus bahwa yang bergcrak itu berbeda atau lain selain yang menggcrakkan tersebut)
[25] Peniadaan
tujuan wajib
al wujud terhadap
penciptaan segala maujudat bermaksud untuk mcngatakan bahwa dzat wajib al wujud tidak banyak
(tidak bcrbilang)
akan tetapi tunggal.
[27] Mcnurut Ibn Sina tidaklah mungkin
wajib al wujud memikirkan sesuatu dari sesuatu, sebab jika demikian maka
dzatnya terdiri dari sesuatu selain dirinya terhadap dirinya. Hal ini
diungkapkan Ibnu Sina pada tulisannya (kitab an Najah h. 283)
(Tidaklah boleh/mungkin bahwa wajib al wujud memikirkan/memahami
sesuatu dari sesuatu selain dirinya. karena kalau demikian maka dzatnya terdiri
dari sesuatu apa yang ia pikirkan. yang berakibat kepada bahwa ia terdiri dari
beberapa. Ataupun terlarang untuk berpikir hingga Ia bukan wajib al wujud dari
segala sisi pandang. dan itu mustahil. Karena wajib al wujud tidak mengalami
sualu keadaan atau perkara di luar diriNya. Atau Ia mengalami keadaan yang itu
lidak bukan dzatnya (tidak berasal dari dzatNya) akan tetapi selain diriNya, karena kalau tidak
demikian maka ada pengaruh sesuatu selain dirinya terhadap dirinya).
[28] Ibnu Sina. Kitab an-najah,
h. 311.
[29] Mcnurut
Ibn Sina
segala sesuatu mempunyai illah- illah disebut sebagai al-fail dan asas gcrakan
scpcrli tukang
kayu untuk terjadinya kursi. Illah
segala sesuatu yang dibutuhkan agar sesuatu dapat diterima sebagai sesuatu
(unluk menjawab pertanyaan "apakah yang dimaksud dengan sesuatu itu?").
[30] Jiwa
menurut Ibn Sina diwujudkan setiap kali muncul tubuh yang siap dan sanggup
menerimanya. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak, dan pengendali
tubuh. Sesungguhnya substansi jiwa adalah sesuatu yang ghaib, yang tidak tertangkap oleh
indera dan waham.
[31] "Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Ibn Sina jiwa manusia akan
kekal, tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak akan kekal, ia akan
binasa bersama dengan matinya badan. Tetapi jika sebelum berpisah dengan badan
jiwa manusia telah mencapai kesempumaan, maka ia selamanya dalam kesenangan.
Jika jiwa manusia berpisah dari badan dalam keadaan tidak sempurna, sebab
ketika bersatu dengan badan ia selalu di pengaruhi oleh hawa nafsu jasmani, ia
akan hidup dalam penyeselan dan terkuruk selamanya di akhirat
[32] Kelebihan
jiwa manusia dari jiwa binatang adalah adanva potensi akal praktis dan akal
teoritis ini pada manusia. Menurut Ibnu Sina. sifat manusia terganlung pada
jiwa mana dari ketiga macam jiwa tersebut yang paling berpengaruh pada dirinya.
la akan bersifat seperti malaikat jika jiwa bcrpikirnya berpengaruh bcsar dari
jiwa tumbuhan dan binatangnya. Bahkan ia juga akan mendekati kesempurnaan jika
jiwa teoritisnya sampai pada taraf akal aktual, apa lagi pada taraf akal
mustafad.
PEMIKIRAN IBNU SINA
A.
Pendahuluan
Ibnu
Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya,
bahkan dunia Barat juga menyanjungnya, di Barat Ibnu Sina di kenal dengan nama Avicenna, ia bagaikan satu bintang
gemerlapan yang memancarkan cahaya
sendiri, yang bukan pinjaman. Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ia juga seorang penyair. Ilmu-ilmu
pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati
buku-buku yang dikarangnya untuk
ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa
Latin. Ketika orang-orang Eropa di abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai
universitas. Ibnu Sina dalam abad pertengahan
di Eropa sangat berpengaruh.[1]
Ibnu
Sina lebih dikenal sebagai seorang filosof juga ia ahli di bidang kedokteran, ini terbukti dengan karya monumentalnya dibidang kedokteran yaitu "Al-Qanun fit-Thibb" selain itu ia juga tercatat
sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang membawa
kemajuan di dunia Islam. Hal ini terbukti dari beberapa kajian yang dilakukan peneliti generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina ditemukan
beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam
.
Sosok
Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim, ia seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan
filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para
pelajar Barat.
Ibnu
Sina adalah Bapak Filsafat Muslim, dimana pandangan sebagian orang mengatakan bahwa Filsafat itu membingungkan. Namun dari filsafat itulah
kita dapat mengetahui esensi suatu hal. Hingga kini, filsafat
masih saja menjadi kajian wajib di berbagai ajang pendidikan. Dalam Islam juga
ada filsafat Islam, filsafat yang mengupas tentang keberadaan Islam itu
sendiri. Dan salah satu pengembangnya adalah Ibnu Sina, seorang dokter, ulama',
psikolog, seniman, bahkan politisi.
Pada makalah ini, penulis akan
memaparkan tentang Profile Ilmuan Ibnu Sina yang meliptuti Biografi Ibn Sina
yang mencakup pendidikanya dan guru-gurunya, Metode Ilmiahnya, Karya-karya
Utamanya. Pengaruh dan pemikirannya dan Pelajaran dari Karakter personal dari
karirnya sebagai ilmuan, dan diakhiri sebuah kesimpulan sebagai penutup.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Ibnu Sina.
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Husain Ibn Abdillah Ibnu Sina. la lahir pada tahun 980 M di Asfahana, suatu tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota
Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat
oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di
kota ini ayahnya menikahi Sattarah dan dikaruniai tiga orang anak yaitu : Ali,
Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad, ia
mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun
telah mampu menghafal al-Qur'an,
sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles,
setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin
Yahya, seorang Masehi. Dalam usianya yang belum melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori-teori kedokteran
yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sampai pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan
sangat baik sekali dikalangan masyarakat[2],
Ibnu Sina juga dikenal produktif
dalam berkarya. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat
adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-lsyarat
wat-Tanbihat, An-Najat adalah
resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat wat-Tanbihat, dikarangkannya
kemudian, untuk ilmu tasawuf Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur
adalah Al~ Qanun (di barat terkenal
dengan sebutan Canon of Medicine)
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Selain itu,
masih banyak lagi karangan-karangan lain
di bidang filsafat, etika, logika, dan psikologi.[3]
Ibnu Sina belajar mengenai ilmu
logika dari gurunya Mutafalsir Abu Abdullah Natili, ia mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Eucliddan
At-Magest-Ptolemus, Setelah gurunya pindah, ia mendalami ilmu agama dan
metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan
bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan kecerdasannya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhannya dalam belajar cukup
mengagumkan, ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali
dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles,
kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet fhabie 'ah li li
Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan
penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala
simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia
menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[4]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam
belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan
banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. la tidak cukup dengan
teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit.[5]
Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap
kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya
petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering ia
tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan- kesulitan yang dihadapinya.[6]
Sewaktu berumur 17 tahun, ia telah
dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh
Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat
sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan
buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan.
Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa
lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[7]
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran
dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,
dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain
lengkap, disusunnya secara sistematis. Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap
sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Selain kepandaiannya sebagai filosof
dan dokter, ia juga seorang penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa,
kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula
didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan
buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa di
abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam
abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[8]
2. Metode
Pemikiran Ibnu Sina
Dalam hal metode berpikir untuk memecahkan
suatu persoalan, Ibnu Sina sangat mengutamakan logika (akal), fikiran adalah
satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu
yang tidak diketahui.[9]
Jalan fikirannya bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan
argumentasi ontologia.
Menurut Ibnu Sina , ada tiga macam
sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada
sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua,
berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang
menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan
dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal
seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[10]
Segi fisika, yang membicarakan
tentang macam-macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: Makan (nutrition),
Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction).
Jiwa binatang dengan daya-daya:
Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian : Menangkap dari
luar dengan panca indera dan Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
a. Indera
bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
b.
Representasi, yang menyimpan segala
apa yang diterima oleh indera bersama.
c.
Imajinasi, yang dapat menyusun apa
yang disimpan dalam representasi.
d.
Estimasi, yang dapat menangkap hal-bal
abstrak yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari
anjing serigala.
e.
Rekoleksi yang menyimpan hal-hal
abstrak yang diterima oleh estimasi,[12]
Jiwa manusia dengan daya-daya :
a. Praktis,
yang hubungannya dengan badan.
b.
Teoritis, yang hubungannya adalah
dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a.
Akal materil, yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih sedikitpun.
b.
Akal actual, yang telah dapat
berfikir tentang hal-hal abstrak.
c.
Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[13]
2.
Segi metafisika, yang membicarakan
tentang Wujud dan hakikat jiwa,
pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang
terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi
sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang Wujud terdapat di luar akal. Wujudlah
yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu Wujud lebih penting dari esensi. Kalau dikombinasikan, esensi dan Wujud dapat mempunyai kombinasi berikut
:
1. Esensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani' yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud. Sebagai contoh adanya kosmos lain disamping kosmos yang ada.
2.
Esensi yang boleh mempunyai Wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut mungkin yaitu sesuatu yang mungkin berWujud tetapi mungkin pula tidak berWujud Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.
Esensi yang mesti mempunyai wujud.
Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan Wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak
berWujud dan kemudian berwujud, tetapi
esensi mesti dan wajib mempunyai Wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berWujud yaitu Tuhan.
Dan wajib al Wujud inilah yang
mewujudkan mungkin al wujud.[14]
Ibnu Sina merupakan murid al
Farabi, jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan
antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya
membedakan Wujud dari esensi dan
menetapkan bahwa Wujud sesuatu bukan
merupakan bagian dari esensinya.
Kita bisa membayangkannya tanpa
bisa mengetahui ia ada atau tidak. Sebab, Wujud
merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadannya.
Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa Allah SWT, yang
wujudnya tidak berpisah dari substansinya.
Berdasarkan jalan pikiran semacam ini,
al Farabi dan Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian
yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya
sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisik.[15]
Hamzah Ya'kub menambahkan bahwa
Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Dengan kata
lain, Ibnu Sina memandang hubungan sebab akibat dan betapakah sebab itu, datang
pula Tuhan sebagai sebab. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak
terus-menerus dalam Wujud yang ada,
sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[16]
3.
Karya-karya
Ibnu Sina
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh
penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Sebagai pemikir yang inovatif dan
kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya.
Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang
membakamya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali
Ibnu Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan
oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian.
Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke
Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian
ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual.
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu
Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena
bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam
bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun
1954. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resume dari kitab As-Shifa.
Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu,
ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kcbanyakan
maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru
dan segera dikarangnya.[17]
Ibnu Sina berhasil menulis sekitar
dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah Qanun yang merupakan ikhtisar pengobatan
Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin
dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Diantara
karangan-karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa',
buku filsafat yang terpenting dan terbesar. Buku ini terdiri atas empat bagian,
yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Ketuhanan).
2.
Al-Qanun,
buku ini adalah buku Imu kedokteran.
3.
Sadidiyya.
buku ilmu kedokteran
4.
Al-Musiqa.
buku tentang musik.
5.
Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
6.
Qamtts
el Arabi, terdiri atas lima jilid.
7.
Danesh
Namesh, buku filsafat.
8.
Uyun-ul
Hikmah, buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
9.
Mujiz,
kahir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar
ilmu logika secara lengkap.
10. Hikmah el' Masyriqiyyin.
Falsafah Timur.
11. Al-lnshqf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
12. Al-Hudud.
Berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu
filsafat.
13. Al-Isyarat wat Tanbiehat.
Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
14.
An-Najat, yang merupakan ringkasan buku Asy-Syifa. Buku ini pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun,
mengenai ilmu kedokteran, pada tahun 1593 M di Mesir.[18]
4.
Pengaruh
Pemikiran Ibnu Sina
Pengaruh pemikiran Ibnu Sina baik dibidang filsafat, Jiwa, kedokteran maupun yang
lainnya, sangatlah berdampak positif atau sangat banyak manfaatnya dalam
memunculkan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, seperti halnya Teori emanasi.
Teori emanasi yang mengandung arti
"memancar", "mengalir",
dan "melimpah" merupakan proses penciptaan alam semesta ini, dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah Malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril[19],
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham emanasi.[20]
Menurut Ibnu Sina, Allah
mcnciptakan alam ini melalui emanasi, dalam
arti bahwa Wujud Tuhan melimpahkan Wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi
melalui tafakkur (bertikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari
peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt
tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang
memberi Wujud kekal dari segala yang
ada.[21]
Filsafat emanasinya Ibnu Sina atau
yang disebut dengan al-faidh merupakan pengembangan dari filsafat Plato,
Aristoteles dan al-Farabi. Konsep al faidh Ibn Sina tidak jauh berbeda dengan
konsep yang dimiliki oleh al Farabi dan konsep-konsep emansipasi para pendahulunya. Konsep ini digunakan sebagai penjelas
secara rasional tentang kemunculan keragaman. Dimana puncak tertinggi ditempati
oleh Tuhan (wajib al wujud).
Penempatan tertinggi oleh wajib al Wujud dikarenakan Ia merupakan
Akal, Akil. dan Ma'qui dengan dzatnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Sina sebagai berikut.[22]
(Setelah disebutkan bahwa wajib
al Wujud itu ada, maka selanjutnya kita katakan bahwa yang wajib al Wujud dengan dzatnya adalah
akal, akil dan ma'qul. Kita mengatakan la sebagai hakekat yang ma 'qul adalah
bahwa kita mengetahui sesungguhnya wujud-dipandang sebagai wujud-bukanlah hal
yang tidak mungkin/terlarang untuk berfikir. Wujud dikatakan tidak berfikir apabila ia berada di dalam materi,
atau terbatas oleh sifat-sifat materi, karena apabila demikian maka ia bersifat
dapat dirasa atau dapat dibayangkan. Jadi Wujud
seperti kita utarakan sebelumnya-yang terlepas dari penghalang tersebut
adalah Wujud dan hakikat yang ma’qulah. Dan segala sesuatu yang dengan
zatnya murni dari materi dan sifat-sifat materi, maka Wujud tersebut dengan zatnya adalah hakikat yang ma’qulah. Yang pertama (wajib al Wujud sebagai akal) adalah bahwa wajib al Wujud murni dari materi dan sifat
materi, jadi Wujud tersebut dipandang
sebagaimana ia adalah identitas yang murni yang berupa akal. Selanjutnya karena
Ia murni baginya karena dzatnya, karena itu ia adalah ma'qul karena dzatnya.
Selanjutnya karena dzatnya merupakan identitas murni baginya maka ia adalah
akil (yang berfikir) tentang dzatnya. Jadi yang ma'qul adalah yang hakekat yang
murni dari sesuatu (hakekatnya tidak
membutuhkan sesuatu), yang
akil adalah yang mempunyai hakekat murni dari sesuatu, dan
tidaklah menjadi mesti dua hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda akan
tetapi mutiak sama. Karena
ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu maka ia adalah akil dan karena
hakikatnya murni dari sesuatu maka ia adalah ma'qul. Jadi sesuatu (akal) itu
adalah dzatnya. Dia akil karena ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu
yakni dzatnya, ia ma'qul karena hakekatnya murni dari sesuatu yakni
dzatnya.....).
Berdasarkan penjelasan Ibn Sina
diatas dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai wajib
al wujud, yang menempati kedudukan tertinggi merupakan Akal, juga Akil
bahkan Ma'qul. Wajib al Wujud sebagai Akal karena Ia murni dari
materi dan sifat materi.[23] Wajib
al Wujud juga berperan sebagai Akil (segala sesuatu yang padanya terdapat hakekat yang murni)
karena Ia mempunyai hakekat murni dari dzat-Nya, kemudian wajib al Wujud juga berperan sebagai ma'qul (hakekat yang murni
dari sesuatu/segala sesuatu yang berupa hakekat yang murni yang eksis karena
sesuatu), adalah karena tidak mustahil Wujud
(Tuhan) itu, melakukan "berpikir".[24] Selain itu juga karena Tuhan tidak
berada dalam materi, maka Tuhan adalah ma’qulah
yakni bebas dari materi dan sifat-sifat materi.[25]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah,
dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran ; Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.[26]
Pada wajib al Wujud kemudian mengalir akal pertama (al Ma'lul al Awwal), munculnya akal pertama ini sebagai akibat
"berpikirnya" Tuhan tentang diri Nya sendiri.[27]
(oleh karena itu, la adalah Akal, sekaligus
Akil dan Ma'qul, yang sama sekali tidak mengharuskannya bersifat banyak). Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hakikat yang dipikirkan oleh Tuhan (Wajib al
wujud) tersebut?. Menurut Ibn Sina, adapun hakikat ma’qulah yang dipikirkan oleh Wajib al Wujud adalah ‘ilm, qudrat, dan iradah Nya sendiri dan tentu dalam standar pemikiran Nya.[28]
(Adalah mesti apa yang wajib al Wujud
pikirkan tentang aturan kebaikan dalam wujud, (tentu ia juga)
memikirkan bagaimana itu mungkin terjadi, bagaimana agar itu lebih baik (wajib al wujud) memikirkan bagaimana agar Wujud itu eksis dengan sebaik-baiknya)
tentu sesuai dengan muqtada (standar) pemikirannya. Hakikat ma 'qulah yang
dipikirkan oleh wajib al Wujud adalah
dirinya sendiri, sesuai dengan pengetahuan saya, adalah ilmu, Qudrat dan
Iradah, sementara kita (dalam hal ini) untuk mewujudkan apa yang kita bayangkan
membutuhkan kesengajaan/tujuan, lalu gerakan lalu kemauan hingga
hal tersebut tcrwujud (maksudnya wajib al Wujud tidak membutuhkan gerakan
untuk mewujudkan sesuatu karena ia mengetahui, berkuasa dan berkeinginan). Hal
itu (seperti
cara manusia mewujudkan sesuatu) tidak mungkin bagi wajib al Wujud dan tidak benar karena ia sempurna/terlepas dari
sifat dua (dzatnya terbagi terbagi kepada dua) seperti yang telah kita jelaskan
sebelumnya).
Maksudnya bahwa Wajib al Wujud (Tuhan) memikirkan
dzat-Nya bahwa Ia Maha Mengetahui segala sesuatu (‘ilm), Ia berpikir bahwa Ia Maha Berkuasa (qudrat), Ia berpikir
bahwa Ia Maha
Kuasa, Maha lngin (Iradah), dan dari aksi tersebut maka muncullah Wujud (maujudat) lain.
Jadi. berfikirnya wajib al Wujud merupakan
illah[29]
bagi Wujud yang dipikirkan Nya
(dzat-Nya) dan bagi Wujud (akal
setelahnya) yang muncul dari wujudnya (akal pertama) dan yang
mengikuti wujudnya (bintang-bintang/planet-planet), akan tetapi Wujud yang lain itu (akal pertama maupun bintang-bintang tersebut) bukan menjadi sebab bagi Wujud Tuhan (wajib al wujud).
Oleh karena itu jelaslah bahwa wajib al Wujud adalah aktor (fail) bagi
segala sesuatu. dikatakan demikian karena la adalah maujud yang dari-Nya
mengalir (faid) segala Wujud dengan
cara mengalir (faid) yang sempurna dan mubayin (meninggalkan/terpisah) bagi
dzatnya. Dan karena yang muncul dari wajib
al Wujud tersebut adalah dengan cara yang luzum (mesti/lazim), maka benar
jika dikatakan bahwa wajib al Wujud dengan
dzat adalah wajib al Wujud nya dari
segala sisi pandang. Jadi tidak mungkin maujudat-maujudat pertama yang berasal darinya, yakni mubdiat (maksudnya
adalah akal satu hingga sepuluh), banyak, tidak berjumlah, tidak terbagi kepada
bentuk dan materi, karena maujudat-maujudat
tersebut eksis karena lazim/mesti dari Wujud
Wajib al Wujud karena dzatnya, bukan karena hal lainnya.
Selanjutnya dari akal pertama
kemudian mengalir lagi akal kedua, sebagai alfaid dari pemikiran akal pertama
tentang Tuhan, lalu mengalir jiwa (nafs) sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang
dirinya sebagai wajib al wujud li ghairihi,
dan raga (jism) falak al
muhith sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai
mumkin al Wujud li dzatihi, Akal kedua juga melakukan yang sama, dan mengalirkan
akal ketiga beserta jiwa dan raganya.
Proses al faidh itu terus berjalan hingga mencapai intelegensi kesepuluh
yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut Malaikat
Jibril. Nama ini diberikan, karena ini memberikan bentuk atau
"memberitahukan" materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal
manusia. Karena itu, ia juga disebut "Pemberi Bentuk" (dator formarum menurut sarjana-sarjana Barat
abad pertengahan).
Adapun
peran dan fungsi akal X
(Ruhul Kudus) dalam pandangan Ibn Sina
antara lain:
1.
Mengalirkan dan berhubungan
langsung dengan jiwa-jiwa yang terdapat dibumi. Pada pandangan Ibn Sina, jiwa
merupakan sesuatu yang memiliki Wujud tersendiri.
Jiwa akan tercipta setiap kali badan lahir dan dapat menerima jiwa tersebut.[30]
Tugas jiwa adalah berpikir, karenanya ia membutuhkan badan manusia yang
memiliki fungsi-fungsi fisik. Dan untuk memperoleh konsep dan ide dari alam
sekitamya diperlukan pancaindera dan daya batin jiwa binatang (makan, tumbuh,
berkembang, bergerak, dan menangkap) terlebih dahulu, baik yang meliputi indera
bersama, estimasi maupun rekoleksi.
Jiwa binatang dan tumbuhan yang
terdapat dalam badan manusia akan hancur bersamaan dengan matinya badan. Dan ia
(jiwa tersebut) tidak akan dibangkitkan kembali di hari kiamat. Karena balasan
bagi kedua jiwa tersebut telah diberikan di dunia. Sebaliknya, untuk jiwa
manusia yang bertujuan pada hal-hal abstrak, akan memperoleh balasannya di
akhirat.[31]
Adapun yang menciptakan dan mengalirkan jiwa-jiwa ini adalah akal X (Ruhul
Kudus). Menurut Ibn Sina, jiwa terbagi dalam tiga macam, yakni:
a.
Jiwa tumbuh-tumbuhan, yang terdapat
potensi:
1) Potensi
Makan
2)
Potensi Tumbuh
3)
Potensi Mengembang biak
b.
Jiwa binatang, selain memiliki
ketiga potensi diatas, juga terdapat potensi:
1) Potensi
Menggerakkan
2)
Potensi Menangkap, baik dengan.
(a) Indera
Luar
(b)
Indera Dalam, terdiri dari:
1) Potensi indera bersama (menerima
semua yang ditangkap oleh pancaindera).
2)
Potensi khayal atau menggambarkan
(menyimpan semua yang diterima oleh indera bersama).
3)
Potensi imajinasi (menyusun apa
yang disimpan dalam potensi khayal).
4)
Potensi Waham/estimasi (menangkap
makna-makna yang tersimpul dalam benda-benda
inderawi, seperti daya waham pada kambing yang dapat menangkap makna-makna berbahaya dan lari ketika melihat dengan mata kepalanya kedatangan musuh).
5)
Potensi ingat (menyimpan
makna-makna yang dihasilkan oleh potensi waham).
c. Jiwa
manusia, terdiri dari potensi jiwa
tumbuhan, potensi jiwa binatang, juga terdapat potensi khusus yang
membedakannya dengan tumbuhan dan binatang,[32]
yakni:
1) Potensi
berpikir praktis (untuk mengendalikan tingkah laku badan).
2)
Potensi berpikir teoritis (untuk
menangkap makna-makna yang abstrak). Untuk potensi berpikir teoritis ini,
akal manusia dapat terus mengalami
peningkatan, yakni:
(a)
Akal potensial (al 'aql al hayulani) yakni
kemampuan akal teoritis yang berada pada taraf potensi.
(b)
Akal malakah (al 'aql bi
al malakah),
yaitu akal yang mampu mengetahui prinsip-prinsip dasar tanpa perlu argumentasi
atau renungan, seperti prinsip keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
(c)
Akal actual (al 'aql bi al fi'li),
yakni akal yang telah terlatih melalui renungan atau argumentasi untuk berpikir
tentang prinsip-prinsip yang diabstraksikan dari realitas empiris.
(d)
Akal mustafad (al 'aql al mustafad),
yakni akal yang telah mampu menerima limpahan pengetahuan tentang
subtansi-subtansi imateri dari
akal aktif (al 'aql al fa 'al).
2.
Mengatur dan mengendalikan secara
tidak langsung raga-raga yang terdapat dibumi.
Akal X adalah pengatur tidak
langsung terhadap raga-raga yang terdapat di bumi, dan pengendali masing-masing
raga itu secara langsung adalah jiwa masing-masing. Manusia misalnya sebagai
makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa rasional, maka yang dimintai
pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya, karena jiwanya itulah yang
menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan akal X hanyalah
pengatur secara tidak langsung tubuh manusia. Akal X yang berhubungan dengan
langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasuk jiwa manusia, disebut dalam
filsafat Ibn Sina sebagai akal aktif (al 'aql alfa'al) yang menggerakkan
sesuatu yang potensial di bumi menjadi sesuatu yang aktual.
3.
Menyampaikan pesan Tuhan pada
manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, sebagian manusia
dianugerahi Tuhan akal potensial
yang begitu kuat, sehingga mereka tidak memerlukan latihan yang cukup keras
untuk dapat berhubungan dengan akal aktif (al 'aql al fa'al /Ruhul Kudus). Tanpa belajar atau latihan, akal potensial yang
sedemikian kuat dapat dengan mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan
melalui akal aktif (Ruhul Kudus). Dan potensi
yang dimiliki ini disebut al hads
(daya luar biasa) atau al quwwah al qudsiyyah (daya suci).
Itulah potensi atau daya tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan
mereka yang mendapat anugerah tersebut hanya pada manusia pilihan yakni para
nabi.
4.
Memberikan limpahan pengetahuan
atau ide-ide pada manusia selain manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, jiwa manusia
biasa (selain nabi/rasul) juga dapat mencapai kesempurnan jiwa hingga
memperoleh limpahan pengetahuan atau ide-ide dari akal
aktif (Ruhul Kudus).Tetapi jalan hingga mencapai kesempuranaan itu tidak
sama seperti yang diperoleh para nabi/rasul. Karena untuk mencapai itu, manusia
harus melalui usaha yang sungguh-sungguh hingga jiwa yang berada pada akal
teoritisnya dapat terus berkembang dan beraktual mencapai akal mustafad (akal
perolehan).
Setiap manusia yang telah mencapai
akai mustafad (akal perolehan) maka akan mampu memperoleh limpahan pengetahuan
dari akal aktif (Ruhul Kudus). Dan mereka yang mendapatkan kesempatan ini
adalah para filosof. Dengan demikian terlihat bahwa besarnya peran akal
teoritis pada manusia, karena adanya potensi akal ini yang dapat meningkat,
membuat manusia memperoleh limpahan pengetahuan dari akal aktif (Ruhul Kudus).
Tidak hanya peran akal teoritis,
peranan potensi berpikir praktis juga cukup menentukan. Potensi itu harus
mengaktual dengan sedemikian rupa sehingga mampu mengetahui baik dan buruknya
suatu perbuatan, serta mampu mengontrol badan atau mengendalikan dorongan
syahwat dan marah, dengan demikian dorongan tersebut tidak menjadi penghalang
bagi potensi berpikir teoritis untuk mengaktualkan diri sampai ketingkat
sempurna.
5.
Pelajaran
dari Karakter Personal dan Karirnya sebagai Ilmuan
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak
memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern, la adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Banyak sekali pelajaran dari
karakter yang dimiliki Ibnu Sina, Ibnu Sina merupakan seorang ilmuan yang dapat menguasai berbagai macam bidang keilmuan
seperti filsafat, teologi, kedokteran bahkan ilmu yang berkaitan dengan
pendidikan. Pada era sekarang ini jarang ditemukan seorang ilmuan yang berlian yang menguasai berbagai macam ilmu
pengetahuan, hal ini menggambarkan
bahwa Islam memerintahkan agar pemeluknya untuk menggali berbagai macam
disiplin keilmuan seperti yang dimiliki oleh Ibnu Sina.
Cukup besar sekali pengaruh
pemikiran Ibnu Sina. Di Timur, sesungguhnya sistem Ibnu Sina telah mendominasi
tradisi falsafah Muslim sampai zaman modern ketika disejajarkan dengan beberapa
orang pemikir Barat oleh mereka yang terdidik di Universitas-Universitas
modern. Di Madrasah-madrasah yang dikelola secara tradisional, Ibnu Sina masih
dipelajari sebagai filosof Islam terbesar. Ini karena tak adanya penggantinya
dengan orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang menghasilkan
sistem yang mengikuti jejaknya.
Pengaruh diatas terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem
yang baik, tetapi karena sistem yang ia canangkan tersebut menampakkan keoriginilan yang menunjukkan jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang dibutuhkan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh
lagi dalam sistem keseragaman Islam.
Pemikiran Ibnu Sina telah
mendominasi tradisi falsafah Islam tentunya tidak berarti mengatakan bahwa ia
telah mendominasi tradisi Islam itu sendiri. Tetapi sebaliknya, pengaruh Ibn
Sina yang sepadan dengan pengaruh falsafahnya di dalam Islam dengan tiba-tiba
dan dengan tajam mengecil setelah polemik-polemik terhadap al-Ghazali dan kemudian
menurun dan nyaris lenyap. Ia masih terus dibaca di madrasah-madrasah hanya
sebagai latihan dasar intelektual para siswa teologi, bukan untuk
memfalsafahkannya kembali melainkan untuk menyangkal atau menolak falsafah.
Faktor-faktor penunjang dari situasi ini adalah kekakuan formal dari teologi
yang dogmatis dan kenyataan bahwa akal manusia itu sendiri menjadi dicurigai
karena adanya ketidak sesuaian ajaran-ajaran tertentu Ibn Sina dengan teologi
ini (di samping tentunya adanya alasan sosial politik, pendidikan dan ekonomi).
Konsep-Konsep Ibn Sina tentang keabadian dunia tidak hanya menghina ortodoksi
tetapi juga menghina doktrin-doktrin sendiri yang dikembangkan dengan perhatian
istimewa kepada Islam, seperti misalnya doktrin tentang kenabian. Namun barang
kali tujuan teologisnya yang terbesar adalah penolakannya terhadap kebangkitan-kebangkitan tubuh. Akan tetapi pemikirannya di bidang kedokteran menjadi
rujukan bahkan dipergunakan buku-buku karangannya itu sebagai textbook, diberbagai universitas Barat
dan Timur.
Karya-karya lbnu Sina diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin di Spanyol pada pertengahan abad ke 6 K ke- 12 M.
Pengaruh pemikirannya di Barat telah mendalam dan terbentang luas. Pengaruh lbn
Sina di Barat mulai merembes secara nyata sejak masa Albert yang agung, Santo
dan guru termasyhur St.
Thomas Aquines. Metafisaka dan teologi Aquines
sendiri tak dapat dimengerti tanpa
pemahaman tentang jasa yang ia terima dari lbn Sina. Semua orang dapat melihat
pengaruh lbn Sina bahkan juga dalam karya-karya Aquines mutakhir dan terbesar seperti Summa Theologica dan Summa
contra Gentiles.[33]
C. Penutup
lbnu Sina adalah ilmuan muslim yang
mahir di banyak bidang seperti kedokteran, politik, kesenian, dan filsafat. la
juga seorang yang produktif menelurkan karya. Sebagai seorang ilmuan yang
berhasi) menulis sekitar dua ratus lima puluh karya, di antara karyanya yang
paling masyhur adalah "Al-Qanun fit-Thibb"
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.
Buku ini di terjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat. kitab ini selain lengkap, disusun secara sistematis. Dalam
bidang materia medica, lbnu Sina juga telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga, dimana
tumbuh-tumbuhan banyak membantu tcrhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
lbnu Sina juga seorang ilmuan yang
pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali
mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat
tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan
penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dia juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik
dalam Islam. Kitab ini terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat
yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Amin Hoesin, Oemar, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Ahmad, Zaenal Abidin, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1949.
Dasoeki,Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam
(Semarang : Dina Utama Semarang,
1993.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta. Bulan Bintang, Cet.Vl, 1996.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penj.
Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Cet. Ill, 2004.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya
Media Pertama, 2002.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
______________,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Poerwantana dkk, SelukBeluk Filsafat Islam, Bandung . Rosda Offset, 1988
Rahardjo, M. Dawam, Insan
Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam ", Jakarta : Pustaka
Grafitipers, 1987.
Sina, Ibnu, an-Najah: ft I al Hikmah al-Mantiqiyah wa al Tabi'iyyyah wa al
Ilahiyyah, disyarah
oleh Majid Fakhri, Beirut: Dar
al Afaq al-Jadidah, t.t.
Ya'kub, Hamzah, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, Jakarta;
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
[3] Ibid, h. 116-117
[4] H.
Zaenul Abidin
Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan
Fllosuf Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang. 1949), h. 49.
[6] Ibid.
[9] Hamzah
Ya'kub, Filsafat Agama: Titik Temu akal
dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992). h. 41.
[10] Ibid
[11] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Pcnetbit Universitas Indonesia,1985, cet.V), h. 34-35.
[12] Hasyimsyah,
Filsafat Islam, (Jakarta: Pcnerbit
Gaya Media Pertama, Ct. VI, 2002), h. 72-73.
[13] Ibid
[15] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Penj. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Ct. ll,
2004), h. 120-121
[16] Hamzah
Ya'kub, h. 42.
[17] Ibid
[18] Thawil
Akhyar Dasoeki.
Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Scmarang : Dina Utama Scmarang, 1993). h. 37-39.
Lihat juga Poerwantana dkk. Seluk
Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Orfscl. 1988). h, 146.
[19] M.
Dawam Rahardjo. Insan Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam", (Jakarta : Pustaka Grafilipcrs. 1987). h. 62.
[20] Istilah
Emanasi ini mendapat penafsinan sebagai
"memancar'. "mengalir", dan 'mclimpah" Lihat M. Dawam
Rahardjo. Insan Kamil, h. 62.
[21] Ibid. h. 62-64.
[22] Ibn
Sina, an-Najah: fil al llikmah
al-Mantiqiyah wa al Tahi 'iyyyah wa al
llahiyyah. Disyarah oleh Majid Fakhri (Beirut: Dar al Afaq al-Jadidah. t.t.), h. 280
[24] Dalam
tcori umum.
scsuatu yang
bcrpikir
sclalu membutuhkan
yang dipikirkan. atau yang bergerak selalu membutuhkan yang digerakkan. namun "berpikir" nya Tuhan tidak memerlukan scsuatu yang lain. Scpcrti yang diungkapkan olch Ibn Sina dalam kilab an
Najah (h. 280
) bahwa:
(Apabila kila pikirkann scbcntar kita akan mengetahui yang bcrfikir pasti membutuhkan yang dipikirkan, Akan tetapi proposisi ini tidak bcrarti bahwa yang dipikirkan
tersebut adalah sesuatu yang lain dari yang berfikir, juga bahwa yang menggcrakkan membutuhkan scsuatu yang digcrakkan. Namun proposisi
ini tidak mengaharuskan bahwa yang bergcrak itu adalah scsuatu yang selain yang menggerakkan tersebut. Karena
itu kita bisa mcngatakan bahwa sesuatu bergerak dengan dzatnya kccuali ada bukti scbaliknya.
Dan tidak menjadi harus bahwa yang bergcrak itu berbeda atau lain selain yang menggcrakkan tersebut)
[25] Peniadaan
tujuan wajib
al wujud terhadap
penciptaan segala maujudat bermaksud untuk mcngatakan bahwa dzat wajib al wujud tidak banyak
(tidak bcrbilang)
akan tetapi tunggal.
[27] Mcnurut Ibn Sina tidaklah mungkin
wajib al wujud memikirkan sesuatu dari sesuatu, sebab jika demikian maka
dzatnya terdiri dari sesuatu selain dirinya terhadap dirinya. Hal ini
diungkapkan Ibnu Sina pada tulisannya (kitab an Najah h. 283)
(Tidaklah boleh/mungkin bahwa wajib al wujud memikirkan/memahami
sesuatu dari sesuatu selain dirinya. karena kalau demikian maka dzatnya terdiri
dari sesuatu apa yang ia pikirkan. yang berakibat kepada bahwa ia terdiri dari
beberapa. Ataupun terlarang untuk berpikir hingga Ia bukan wajib al wujud dari
segala sisi pandang. dan itu mustahil. Karena wajib al wujud tidak mengalami
sualu keadaan atau perkara di luar diriNya. Atau Ia mengalami keadaan yang itu
lidak bukan dzatnya (tidak berasal dari dzatNya) akan tetapi selain diriNya, karena kalau tidak
demikian maka ada pengaruh sesuatu selain dirinya terhadap dirinya).
[28] Ibnu Sina. Kitab an-najah,
h. 311.
[29] Mcnurut
Ibn Sina
segala sesuatu mempunyai illah- illah disebut sebagai al-fail dan asas gcrakan
scpcrli tukang
kayu untuk terjadinya kursi. Illah
segala sesuatu yang dibutuhkan agar sesuatu dapat diterima sebagai sesuatu
(unluk menjawab pertanyaan "apakah yang dimaksud dengan sesuatu itu?").
[30] Jiwa
menurut Ibn Sina diwujudkan setiap kali muncul tubuh yang siap dan sanggup
menerimanya. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak, dan pengendali
tubuh. Sesungguhnya substansi jiwa adalah sesuatu yang ghaib, yang tidak tertangkap oleh
indera dan waham.
[31] "Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Ibn Sina jiwa manusia akan
kekal, tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak akan kekal, ia akan
binasa bersama dengan matinya badan. Tetapi jika sebelum berpisah dengan badan
jiwa manusia telah mencapai kesempumaan, maka ia selamanya dalam kesenangan.
Jika jiwa manusia berpisah dari badan dalam keadaan tidak sempurna, sebab
ketika bersatu dengan badan ia selalu di pengaruhi oleh hawa nafsu jasmani, ia
akan hidup dalam penyeselan dan terkuruk selamanya di akhirat
[32] Kelebihan
jiwa manusia dari jiwa binatang adalah adanva potensi akal praktis dan akal
teoritis ini pada manusia. Menurut Ibnu Sina. sifat manusia terganlung pada
jiwa mana dari ketiga macam jiwa tersebut yang paling berpengaruh pada dirinya.
la akan bersifat seperti malaikat jika jiwa bcrpikirnya berpengaruh bcsar dari
jiwa tumbuhan dan binatangnya. Bahkan ia juga akan mendekati kesempurnaan jika
jiwa teoritisnya sampai pada taraf akal aktual, apa lagi pada taraf akal
mustafad.
PEMIKIRAN IBNU SINA
A.
Pendahuluan
Ibnu
Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya,
bahkan dunia Barat juga menyanjungnya, di Barat Ibnu Sina di kenal dengan nama Avicenna, ia bagaikan satu bintang
gemerlapan yang memancarkan cahaya
sendiri, yang bukan pinjaman. Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, ia juga seorang penyair. Ilmu-ilmu
pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati
buku-buku yang dikarangnya untuk
ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa
Latin. Ketika orang-orang Eropa di abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai
universitas. Ibnu Sina dalam abad pertengahan
di Eropa sangat berpengaruh.[1]
Ibnu
Sina lebih dikenal sebagai seorang filosof juga ia ahli di bidang kedokteran, ini terbukti dengan karya monumentalnya dibidang kedokteran yaitu "Al-Qanun fit-Thibb" selain itu ia juga tercatat
sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam yang membawa
kemajuan di dunia Islam. Hal ini terbukti dari beberapa kajian yang dilakukan peneliti generasi sesudahnya tentang pemikiran Ibn Sina ditemukan
beberapa pemikirannya tentang konsep pendidikan Islam
.
Sosok
Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat
yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim, ia seorang filosof muslim yang berani melawan kekangan
filsafat Yunani, bahkan buah pemikirannya ini pun juga dikonsumsi oleh para
pelajar Barat.
Ibnu
Sina adalah Bapak Filsafat Muslim, dimana pandangan sebagian orang mengatakan bahwa Filsafat itu membingungkan. Namun dari filsafat itulah
kita dapat mengetahui esensi suatu hal. Hingga kini, filsafat
masih saja menjadi kajian wajib di berbagai ajang pendidikan. Dalam Islam juga
ada filsafat Islam, filsafat yang mengupas tentang keberadaan Islam itu
sendiri. Dan salah satu pengembangnya adalah Ibnu Sina, seorang dokter, ulama',
psikolog, seniman, bahkan politisi.
Pada makalah ini, penulis akan
memaparkan tentang Profile Ilmuan Ibnu Sina yang meliptuti Biografi Ibn Sina
yang mencakup pendidikanya dan guru-gurunya, Metode Ilmiahnya, Karya-karya
Utamanya. Pengaruh dan pemikirannya dan Pelajaran dari Karakter personal dari
karirnya sebagai ilmuan, dan diakhiri sebuah kesimpulan sebagai penutup.
B.
Pembahasan
1.
Biografi
Ibnu Sina.
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu
Ali Husain Ibn Abdillah Ibnu Sina. la lahir pada tahun 980 M di Asfahana, suatu tempat dekat Bukhara. Ayahnya berasal dari Kota
Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa Raja Nuh ibnu Manshur dan diangkat
oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, satu wilayah dari kota Bukhara. Di
kota ini ayahnya menikahi Sattarah dan dikaruniai tiga orang anak yaitu : Ali,
Husein (Ibnu Sina), dan Muhammad, ia
mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun
telah mampu menghafal al-Qur'an,
sebagian sastra Arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan aristoteles,
setelah membacanya 40 kali. Ia juga mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin
Yahya, seorang Masehi. Dalam usianya yang belum melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang
yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Tidak hanya teori-teori kedokteran
yang ia pelajari, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit. ketika berumur 17 tahun ia pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sampai pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan
sangat baik sekali dikalangan masyarakat[2],
Ibnu Sina juga dikenal produktif
dalam berkarya. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat
adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-lsyarat
wat-Tanbihat, An-Najat adalah
resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat wat-Tanbihat, dikarangkannya
kemudian, untuk ilmu tasawuf Selain dari itu, karyanya yang paling masyhur
adalah Al~ Qanun (di barat terkenal
dengan sebutan Canon of Medicine)
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini. Selain itu,
masih banyak lagi karangan-karangan lain
di bidang filsafat, etika, logika, dan psikologi.[3]
Ibnu Sina belajar mengenai ilmu
logika dari gurunya Mutafalsir Abu Abdullah Natili, ia mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Eucliddan
At-Magest-Ptolemus, Setelah gurunya pindah, ia mendalami ilmu agama dan
metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan
bantuan komentator-komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan kecerdasannya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhannya dalam belajar cukup
mengagumkan, ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali
dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles,
kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma waraet fhabie 'ah li li
Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan
penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala
simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia
menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[4]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam
belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan
banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. la tidak cukup dengan
teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang
sakit.[5]
Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap
kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya
petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering ia
tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
pemecahan terhadap kesulitan- kesulitan yang dihadapinya.[6]
Sewaktu berumur 17 tahun, ia telah
dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh
Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat
sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan
buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan.
Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang
ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa
lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[7]
Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang
filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran
dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya,
dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain
lengkap, disusunnya secara sistematis. Di bidang filsafat, Ibnu Sina dianggap
sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya.
Selain kepandaiannya sebagai filosof
dan dokter, ia juga seorang penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa,
kedokteran dan kimia ada yang ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula
didapati buku-buku yang dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan
buku-bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa di
abad tengah, mulai mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, diberbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina dalam
abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[8]
2. Metode
Pemikiran Ibnu Sina
Dalam hal metode berpikir untuk memecahkan
suatu persoalan, Ibnu Sina sangat mengutamakan logika (akal), fikiran adalah
satu jalan pengetahuan yang diberikan dengan satu aturan tertentu kepada suatu
yang tidak diketahui.[9]
Jalan fikirannya bertolak dari konsepsi makhluk dan mengembangkan dengan
argumentasi ontologia.
Menurut Ibnu Sina , ada tiga macam
sesuatu yang ada. Pertama, pentingnya dalam diri sendiri, tidak perlu kepada
sebab lain untuk kejadiannya selain dirinya sendiri (yakni Tuhan). Kedua,
berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada yang
menjadikannya. Ketiga, makhluk mungkin, yaitu bisa ada dan bisa tidak ada, dan
dia sendiri tidak butuh kepada kejadiannya (benda-benda yang tak berakal
seperti pohon-pohon, batu, dan sebagainya).[10]
Segi fisika, yang membicarakan
tentang macam-macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Jiwa tumbuh-tumbuhan dengan daya-daya: Makan (nutrition),
Tumbuh (growth), Berkembang biak (reproduction).
Jiwa binatang dengan daya-daya:
Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian : Menangkap dari
luar dengan panca indera dan Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam:
a. Indera
bersama, yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
b.
Representasi, yang menyimpan segala
apa yang diterima oleh indera bersama.
c.
Imajinasi, yang dapat menyusun apa
yang disimpan dalam representasi.
d.
Estimasi, yang dapat menangkap hal-bal
abstrak yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari
anjing serigala.
e.
Rekoleksi yang menyimpan hal-hal
abstrak yang diterima oleh estimasi,[12]
Jiwa manusia dengan daya-daya :
a. Praktis,
yang hubungannya dengan badan.
b.
Teoritis, yang hubungannya adalah
dengan hal-hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan:
a.
Akal materil, yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih sedikitpun.
b.
Akal actual, yang telah dapat
berfikir tentang hal-hal abstrak.
c.
Akal mustafad yaitu akal yang telah
sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[13]
2.
Segi metafisika, yang membicarakan
tentang Wujud dan hakikat jiwa,
pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang
terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi
sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang Wujud terdapat di luar akal. Wujudlah
yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu Wujud lebih penting dari esensi. Kalau dikombinasikan, esensi dan Wujud dapat mempunyai kombinasi berikut
:
1. Esensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina
mumtani' yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud. Sebagai contoh adanya kosmos lain disamping kosmos yang ada.
2.
Esensi yang boleh mempunyai Wujud dan boleh pula tidak mempunyai
wujud. Yang serupa ini disebut mungkin yaitu sesuatu yang mungkin berWujud tetapi mungkin pula tidak berWujud Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan
akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.
Esensi yang mesti mempunyai wujud.
Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Esensi dan Wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh tidak
berWujud dan kemudian berwujud, tetapi
esensi mesti dan wajib mempunyai Wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berWujud yaitu Tuhan.
Dan wajib al Wujud inilah yang
mewujudkan mungkin al wujud.[14]
Ibnu Sina merupakan murid al
Farabi, jadi tidak mengherankan apabila banyak pemikiran yang memiliki kesamaan
antara pemikiran Ibnu Sina dengan al Farabi. Dalam teori ketuhanan, keduanya
membedakan Wujud dari esensi dan
menetapkan bahwa Wujud sesuatu bukan
merupakan bagian dari esensinya.
Kita bisa membayangkannya tanpa
bisa mengetahui ia ada atau tidak. Sebab, Wujud
merupakan salah satu aksidensia bagi substansi bukan sebagai unsur pengadannya.
Prinsip demikian berlaku bagi Yang Maha Esa Allah SWT, yang
wujudnya tidak berpisah dari substansinya.
Berdasarkan jalan pikiran semacam ini,
al Farabi dan Ibnu Sina menyimpulkan bahwa kita tidak membutuhkan pembuktian
yang panjang untuk menetapkan eksistensi Allah. Kita cukup mengetahui zat-Nya
sekaligus. Bukti ontologis ini lebih bersifat metafisis dibandingkan fisik.[15]
Hamzah Ya'kub menambahkan bahwa
Ibnu Sina menganggap Tuhan adalah sebab yang efficient dari alam. Dengan kata
lain, Ibnu Sina memandang hubungan sebab akibat dan betapakah sebab itu, datang
pula Tuhan sebagai sebab. Tuhan bertindak dalam alam yang bergerak
terus-menerus dalam Wujud yang ada,
sebagai sebab dirinya sendiri atau dibutuhkan oleh yang lain.[16]
3.
Karya-karya
Ibnu Sina
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak memperoleh
penghargaan yang tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Sebagai pemikir yang inovatif dan
kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidaklah terlepas dari cobaan yang menimpanya.
Tatkala perpustakaan istana terbakar, musuh-musuhnya menuduh Ibnu Sina yang
membakamya supaya orang tidak bisa menguasai ilmu yang ada di sana, kecuali
Ibnu Sina sendiri sehingga ia tidak tertandingi. Ia juga pernah dipenjarakan
oleh putra al-Syam al-Daulah hanya karena ketidaksenangan, atau kedengkian.
Setelah beberapa bulan, ia dapat meloloskan diri dari penjara dan lari ke
Isfahan kemudian disambut oleh Amirnya dengan kehormatan. Di kota ini kemudian
ia mengabdikan kiprahnya sebagai seorang intelektual.
Dalam dunia Islam kitab-kitab Ibnu
Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena
bahasanya yang baik dan caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam
bahasa Arab, Ibnu Sina juga menulis dalam bahasa Persia. Buku-bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran dalam tahun
1954. Karya-karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resume dari kitab As-Shifa.
Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu,
ia banyak menulis karangan-karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kcbanyakan
maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru
dan segera dikarangnya.[17]
Ibnu Sina berhasil menulis sekitar
dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah Qanun yang merupakan ikhtisar pengobatan
Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin
dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam. Diantara
karangan-karangan Ibnu Sina adalah :
1. As-Syifa',
buku filsafat yang terpenting dan terbesar. Buku ini terdiri atas empat bagian,
yaitu logika, fisika, matematika, dan metafisika (Ketuhanan).
2.
Al-Qanun,
buku ini adalah buku Imu kedokteran.
3.
Sadidiyya.
buku ilmu kedokteran
4.
Al-Musiqa.
buku tentang musik.
5.
Al-Mantiq,
diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
6.
Qamtts
el Arabi, terdiri atas lima jilid.
7.
Danesh
Namesh, buku filsafat.
8.
Uyun-ul
Hikmah, buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
9.
Mujiz,
kahir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar
ilmu logika secara lengkap.
10. Hikmah el' Masyriqiyyin.
Falsafah Timur.
11. Al-lnshqf.
Buku tentang Keadilan Sejati.
12. Al-Hudud.
Berisikan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakai didalam ilmu
filsafat.
13. Al-Isyarat wat Tanbiehat.
Buku ini lebih banyak membicarakan dalil-dalil dan peringatan-peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.
14.
An-Najat, yang merupakan ringkasan buku Asy-Syifa. Buku ini pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun,
mengenai ilmu kedokteran, pada tahun 1593 M di Mesir.[18]
4.
Pengaruh
Pemikiran Ibnu Sina
Pengaruh pemikiran Ibnu Sina baik dibidang filsafat, Jiwa, kedokteran maupun yang
lainnya, sangatlah berdampak positif atau sangat banyak manfaatnya dalam
memunculkan berbagai ilmu pengetahuan lainnya, seperti halnya Teori emanasi.
Teori emanasi yang mengandung arti
"memancar", "mengalir",
dan "melimpah" merupakan proses penciptaan alam semesta ini, dari
Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi
Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada
dibawah bulan. Akal pertama adalah Malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril[19],
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa.
Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham emanasi.[20]
Menurut Ibnu Sina, Allah
mcnciptakan alam ini melalui emanasi, dalam
arti bahwa Wujud Tuhan melimpahkan Wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi
melalui tafakkur (bertikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari
peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt
tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang
memberi Wujud kekal dari segala yang
ada.[21]
Filsafat emanasinya Ibnu Sina atau
yang disebut dengan al-faidh merupakan pengembangan dari filsafat Plato,
Aristoteles dan al-Farabi. Konsep al faidh Ibn Sina tidak jauh berbeda dengan
konsep yang dimiliki oleh al Farabi dan konsep-konsep emansipasi para pendahulunya. Konsep ini digunakan sebagai penjelas
secara rasional tentang kemunculan keragaman. Dimana puncak tertinggi ditempati
oleh Tuhan (wajib al wujud).
Penempatan tertinggi oleh wajib al Wujud dikarenakan Ia merupakan
Akal, Akil. dan Ma'qui dengan dzatnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh
Ibnu Sina sebagai berikut.[22]
(Setelah disebutkan bahwa wajib
al Wujud itu ada, maka selanjutnya kita katakan bahwa yang wajib al Wujud dengan dzatnya adalah
akal, akil dan ma'qul. Kita mengatakan la sebagai hakekat yang ma 'qul adalah
bahwa kita mengetahui sesungguhnya wujud-dipandang sebagai wujud-bukanlah hal
yang tidak mungkin/terlarang untuk berfikir. Wujud dikatakan tidak berfikir apabila ia berada di dalam materi,
atau terbatas oleh sifat-sifat materi, karena apabila demikian maka ia bersifat
dapat dirasa atau dapat dibayangkan. Jadi Wujud
seperti kita utarakan sebelumnya-yang terlepas dari penghalang tersebut
adalah Wujud dan hakikat yang ma’qulah. Dan segala sesuatu yang dengan
zatnya murni dari materi dan sifat-sifat materi, maka Wujud tersebut dengan zatnya adalah hakikat yang ma’qulah. Yang pertama (wajib al Wujud sebagai akal) adalah bahwa wajib al Wujud murni dari materi dan sifat
materi, jadi Wujud tersebut dipandang
sebagaimana ia adalah identitas yang murni yang berupa akal. Selanjutnya karena
Ia murni baginya karena dzatnya, karena itu ia adalah ma'qul karena dzatnya.
Selanjutnya karena dzatnya merupakan identitas murni baginya maka ia adalah
akil (yang berfikir) tentang dzatnya. Jadi yang ma'qul adalah yang hakekat yang
murni dari sesuatu (hakekatnya tidak
membutuhkan sesuatu), yang
akil adalah yang mempunyai hakekat murni dari sesuatu, dan
tidaklah menjadi mesti dua hal tersebut merupakan sesuatu yang berbeda akan
tetapi mutiak sama. Karena
ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu maka ia adalah akil dan karena
hakikatnya murni dari sesuatu maka ia adalah ma'qul. Jadi sesuatu (akal) itu
adalah dzatnya. Dia akil karena ia mempunyai hakekat murni dari sesuatu
yakni dzatnya, ia ma'qul karena hakekatnya murni dari sesuatu yakni
dzatnya.....).
Berdasarkan penjelasan Ibn Sina
diatas dapat dipahami bahwa Tuhan sebagai wajib
al wujud, yang menempati kedudukan tertinggi merupakan Akal, juga Akil
bahkan Ma'qul. Wajib al Wujud sebagai Akal karena Ia murni dari
materi dan sifat materi.[23] Wajib
al Wujud juga berperan sebagai Akil (segala sesuatu yang padanya terdapat hakekat yang murni)
karena Ia mempunyai hakekat murni dari dzat-Nya, kemudian wajib al Wujud juga berperan sebagai ma'qul (hakekat yang murni
dari sesuatu/segala sesuatu yang berupa hakekat yang murni yang eksis karena
sesuatu), adalah karena tidak mustahil Wujud
(Tuhan) itu, melakukan "berpikir".[24] Selain itu juga karena Tuhan tidak
berada dalam materi, maka Tuhan adalah ma’qulah
yakni bebas dari materi dan sifat-sifat materi.[25]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal
pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah,
dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat. Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran ; Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya.[26]
Pada wajib al Wujud kemudian mengalir akal pertama (al Ma'lul al Awwal), munculnya akal pertama ini sebagai akibat
"berpikirnya" Tuhan tentang diri Nya sendiri.[27]
(oleh karena itu, la adalah Akal, sekaligus
Akil dan Ma'qul, yang sama sekali tidak mengharuskannya bersifat banyak). Yang
menjadi pertanyaan kemudian adalah apa hakikat yang dipikirkan oleh Tuhan (Wajib al
wujud) tersebut?. Menurut Ibn Sina, adapun hakikat ma’qulah yang dipikirkan oleh Wajib al Wujud adalah ‘ilm, qudrat, dan iradah Nya sendiri dan tentu dalam standar pemikiran Nya.[28]
(Adalah mesti apa yang wajib al Wujud
pikirkan tentang aturan kebaikan dalam wujud, (tentu ia juga)
memikirkan bagaimana itu mungkin terjadi, bagaimana agar itu lebih baik (wajib al wujud) memikirkan bagaimana agar Wujud itu eksis dengan sebaik-baiknya)
tentu sesuai dengan muqtada (standar) pemikirannya. Hakikat ma 'qulah yang
dipikirkan oleh wajib al Wujud adalah
dirinya sendiri, sesuai dengan pengetahuan saya, adalah ilmu, Qudrat dan
Iradah, sementara kita (dalam hal ini) untuk mewujudkan apa yang kita bayangkan
membutuhkan kesengajaan/tujuan, lalu gerakan lalu kemauan hingga
hal tersebut tcrwujud (maksudnya wajib al Wujud tidak membutuhkan gerakan
untuk mewujudkan sesuatu karena ia mengetahui, berkuasa dan berkeinginan). Hal
itu (seperti
cara manusia mewujudkan sesuatu) tidak mungkin bagi wajib al Wujud dan tidak benar karena ia sempurna/terlepas dari
sifat dua (dzatnya terbagi terbagi kepada dua) seperti yang telah kita jelaskan
sebelumnya).
Maksudnya bahwa Wajib al Wujud (Tuhan) memikirkan
dzat-Nya bahwa Ia Maha Mengetahui segala sesuatu (‘ilm), Ia berpikir bahwa Ia Maha Berkuasa (qudrat), Ia berpikir
bahwa Ia Maha
Kuasa, Maha lngin (Iradah), dan dari aksi tersebut maka muncullah Wujud (maujudat) lain.
Jadi. berfikirnya wajib al Wujud merupakan
illah[29]
bagi Wujud yang dipikirkan Nya
(dzat-Nya) dan bagi Wujud (akal
setelahnya) yang muncul dari wujudnya (akal pertama) dan yang
mengikuti wujudnya (bintang-bintang/planet-planet), akan tetapi Wujud yang lain itu (akal pertama maupun bintang-bintang tersebut) bukan menjadi sebab bagi Wujud Tuhan (wajib al wujud).
Oleh karena itu jelaslah bahwa wajib al Wujud adalah aktor (fail) bagi
segala sesuatu. dikatakan demikian karena la adalah maujud yang dari-Nya
mengalir (faid) segala Wujud dengan
cara mengalir (faid) yang sempurna dan mubayin (meninggalkan/terpisah) bagi
dzatnya. Dan karena yang muncul dari wajib
al Wujud tersebut adalah dengan cara yang luzum (mesti/lazim), maka benar
jika dikatakan bahwa wajib al Wujud dengan
dzat adalah wajib al Wujud nya dari
segala sisi pandang. Jadi tidak mungkin maujudat-maujudat pertama yang berasal darinya, yakni mubdiat (maksudnya
adalah akal satu hingga sepuluh), banyak, tidak berjumlah, tidak terbagi kepada
bentuk dan materi, karena maujudat-maujudat
tersebut eksis karena lazim/mesti dari Wujud
Wajib al Wujud karena dzatnya, bukan karena hal lainnya.
Selanjutnya dari akal pertama
kemudian mengalir lagi akal kedua, sebagai alfaid dari pemikiran akal pertama
tentang Tuhan, lalu mengalir jiwa (nafs) sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang
dirinya sebagai wajib al wujud li ghairihi,
dan raga (jism) falak al
muhith sebagai al faidh dari pemikiran akal pertama tentang dirinya sebagai
mumkin al Wujud li dzatihi, Akal kedua juga melakukan yang sama, dan mengalirkan
akal ketiga beserta jiwa dan raganya.
Proses al faidh itu terus berjalan hingga mencapai intelegensi kesepuluh
yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosof muslim disebut Malaikat
Jibril. Nama ini diberikan, karena ini memberikan bentuk atau
"memberitahukan" materi dunia ini, yaitu materi fisik dan akal
manusia. Karena itu, ia juga disebut "Pemberi Bentuk" (dator formarum menurut sarjana-sarjana Barat
abad pertengahan).
Adapun
peran dan fungsi akal X
(Ruhul Kudus) dalam pandangan Ibn Sina
antara lain:
1.
Mengalirkan dan berhubungan
langsung dengan jiwa-jiwa yang terdapat dibumi. Pada pandangan Ibn Sina, jiwa
merupakan sesuatu yang memiliki Wujud tersendiri.
Jiwa akan tercipta setiap kali badan lahir dan dapat menerima jiwa tersebut.[30]
Tugas jiwa adalah berpikir, karenanya ia membutuhkan badan manusia yang
memiliki fungsi-fungsi fisik. Dan untuk memperoleh konsep dan ide dari alam
sekitamya diperlukan pancaindera dan daya batin jiwa binatang (makan, tumbuh,
berkembang, bergerak, dan menangkap) terlebih dahulu, baik yang meliputi indera
bersama, estimasi maupun rekoleksi.
Jiwa binatang dan tumbuhan yang
terdapat dalam badan manusia akan hancur bersamaan dengan matinya badan. Dan ia
(jiwa tersebut) tidak akan dibangkitkan kembali di hari kiamat. Karena balasan
bagi kedua jiwa tersebut telah diberikan di dunia. Sebaliknya, untuk jiwa
manusia yang bertujuan pada hal-hal abstrak, akan memperoleh balasannya di
akhirat.[31]
Adapun yang menciptakan dan mengalirkan jiwa-jiwa ini adalah akal X (Ruhul
Kudus). Menurut Ibn Sina, jiwa terbagi dalam tiga macam, yakni:
a.
Jiwa tumbuh-tumbuhan, yang terdapat
potensi:
1) Potensi
Makan
2)
Potensi Tumbuh
3)
Potensi Mengembang biak
b.
Jiwa binatang, selain memiliki
ketiga potensi diatas, juga terdapat potensi:
1) Potensi
Menggerakkan
2)
Potensi Menangkap, baik dengan.
(a) Indera
Luar
(b)
Indera Dalam, terdiri dari:
1) Potensi indera bersama (menerima
semua yang ditangkap oleh pancaindera).
2)
Potensi khayal atau menggambarkan
(menyimpan semua yang diterima oleh indera bersama).
3)
Potensi imajinasi (menyusun apa
yang disimpan dalam potensi khayal).
4)
Potensi Waham/estimasi (menangkap
makna-makna yang tersimpul dalam benda-benda
inderawi, seperti daya waham pada kambing yang dapat menangkap makna-makna berbahaya dan lari ketika melihat dengan mata kepalanya kedatangan musuh).
5)
Potensi ingat (menyimpan
makna-makna yang dihasilkan oleh potensi waham).
c. Jiwa
manusia, terdiri dari potensi jiwa
tumbuhan, potensi jiwa binatang, juga terdapat potensi khusus yang
membedakannya dengan tumbuhan dan binatang,[32]
yakni:
1) Potensi
berpikir praktis (untuk mengendalikan tingkah laku badan).
2)
Potensi berpikir teoritis (untuk
menangkap makna-makna yang abstrak). Untuk potensi berpikir teoritis ini,
akal manusia dapat terus mengalami
peningkatan, yakni:
(a)
Akal potensial (al 'aql al hayulani) yakni
kemampuan akal teoritis yang berada pada taraf potensi.
(b)
Akal malakah (al 'aql bi
al malakah),
yaitu akal yang mampu mengetahui prinsip-prinsip dasar tanpa perlu argumentasi
atau renungan, seperti prinsip keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
(c)
Akal actual (al 'aql bi al fi'li),
yakni akal yang telah terlatih melalui renungan atau argumentasi untuk berpikir
tentang prinsip-prinsip yang diabstraksikan dari realitas empiris.
(d)
Akal mustafad (al 'aql al mustafad),
yakni akal yang telah mampu menerima limpahan pengetahuan tentang
subtansi-subtansi imateri dari
akal aktif (al 'aql al fa 'al).
2.
Mengatur dan mengendalikan secara
tidak langsung raga-raga yang terdapat dibumi.
Akal X adalah pengatur tidak
langsung terhadap raga-raga yang terdapat di bumi, dan pengendali masing-masing
raga itu secara langsung adalah jiwa masing-masing. Manusia misalnya sebagai
makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa rasional, maka yang dimintai
pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya, karena jiwanya itulah yang
menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan akal X hanyalah
pengatur secara tidak langsung tubuh manusia. Akal X yang berhubungan dengan
langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasuk jiwa manusia, disebut dalam
filsafat Ibn Sina sebagai akal aktif (al 'aql alfa'al) yang menggerakkan
sesuatu yang potensial di bumi menjadi sesuatu yang aktual.
3.
Menyampaikan pesan Tuhan pada
manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, sebagian manusia
dianugerahi Tuhan akal potensial
yang begitu kuat, sehingga mereka tidak memerlukan latihan yang cukup keras
untuk dapat berhubungan dengan akal aktif (al 'aql al fa'al /Ruhul Kudus). Tanpa belajar atau latihan, akal potensial yang
sedemikian kuat dapat dengan mudah menerima cahaya kebenaran atau wahyu Tuhan
melalui akal aktif (Ruhul Kudus). Dan potensi
yang dimiliki ini disebut al hads
(daya luar biasa) atau al quwwah al qudsiyyah (daya suci).
Itulah potensi atau daya tertinggi yang diberikan Tuhan kepada manusia, dan
mereka yang mendapat anugerah tersebut hanya pada manusia pilihan yakni para
nabi.
4.
Memberikan limpahan pengetahuan
atau ide-ide pada manusia selain manusia pilihan (nabi/rasul).
Menurut Ibn Sina, jiwa manusia
biasa (selain nabi/rasul) juga dapat mencapai kesempurnan jiwa hingga
memperoleh limpahan pengetahuan atau ide-ide dari akal
aktif (Ruhul Kudus).Tetapi jalan hingga mencapai kesempuranaan itu tidak
sama seperti yang diperoleh para nabi/rasul. Karena untuk mencapai itu, manusia
harus melalui usaha yang sungguh-sungguh hingga jiwa yang berada pada akal
teoritisnya dapat terus berkembang dan beraktual mencapai akal mustafad (akal
perolehan).
Setiap manusia yang telah mencapai
akai mustafad (akal perolehan) maka akan mampu memperoleh limpahan pengetahuan
dari akal aktif (Ruhul Kudus). Dan mereka yang mendapatkan kesempatan ini
adalah para filosof. Dengan demikian terlihat bahwa besarnya peran akal
teoritis pada manusia, karena adanya potensi akal ini yang dapat meningkat,
membuat manusia memperoleh limpahan pengetahuan dari akal aktif (Ruhul Kudus).
Tidak hanya peran akal teoritis,
peranan potensi berpikir praktis juga cukup menentukan. Potensi itu harus
mengaktual dengan sedemikian rupa sehingga mampu mengetahui baik dan buruknya
suatu perbuatan, serta mampu mengontrol badan atau mengendalikan dorongan
syahwat dan marah, dengan demikian dorongan tersebut tidak menjadi penghalang
bagi potensi berpikir teoritis untuk mengaktualkan diri sampai ketingkat
sempurna.
5.
Pelajaran
dari Karakter Personal dan Karirnya sebagai Ilmuan
Dalam sejarah pemikiran filsafat
abad pertengahan, sosok Ibnu Sina adalah sosok filosof muslim yang banyak
memperoleh penghargaan yang tinggi hingga masa modern, la adalah satu-satunya filosof
besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan
terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.
Banyak sekali pelajaran dari
karakter yang dimiliki Ibnu Sina, Ibnu Sina merupakan seorang ilmuan yang dapat menguasai berbagai macam bidang keilmuan
seperti filsafat, teologi, kedokteran bahkan ilmu yang berkaitan dengan
pendidikan. Pada era sekarang ini jarang ditemukan seorang ilmuan yang berlian yang menguasai berbagai macam ilmu
pengetahuan, hal ini menggambarkan
bahwa Islam memerintahkan agar pemeluknya untuk menggali berbagai macam
disiplin keilmuan seperti yang dimiliki oleh Ibnu Sina.
Cukup besar sekali pengaruh
pemikiran Ibnu Sina. Di Timur, sesungguhnya sistem Ibnu Sina telah mendominasi
tradisi falsafah Muslim sampai zaman modern ketika disejajarkan dengan beberapa
orang pemikir Barat oleh mereka yang terdidik di Universitas-Universitas
modern. Di Madrasah-madrasah yang dikelola secara tradisional, Ibnu Sina masih
dipelajari sebagai filosof Islam terbesar. Ini karena tak adanya penggantinya
dengan orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang menghasilkan
sistem yang mengikuti jejaknya.
Pengaruh diatas terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem
yang baik, tetapi karena sistem yang ia canangkan tersebut menampakkan keoriginilan yang menunjukkan jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang dibutuhkan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh
lagi dalam sistem keseragaman Islam.
Pemikiran Ibnu Sina telah
mendominasi tradisi falsafah Islam tentunya tidak berarti mengatakan bahwa ia
telah mendominasi tradisi Islam itu sendiri. Tetapi sebaliknya, pengaruh Ibn
Sina yang sepadan dengan pengaruh falsafahnya di dalam Islam dengan tiba-tiba
dan dengan tajam mengecil setelah polemik-polemik terhadap al-Ghazali dan kemudian
menurun dan nyaris lenyap. Ia masih terus dibaca di madrasah-madrasah hanya
sebagai latihan dasar intelektual para siswa teologi, bukan untuk
memfalsafahkannya kembali melainkan untuk menyangkal atau menolak falsafah.
Faktor-faktor penunjang dari situasi ini adalah kekakuan formal dari teologi
yang dogmatis dan kenyataan bahwa akal manusia itu sendiri menjadi dicurigai
karena adanya ketidak sesuaian ajaran-ajaran tertentu Ibn Sina dengan teologi
ini (di samping tentunya adanya alasan sosial politik, pendidikan dan ekonomi).
Konsep-Konsep Ibn Sina tentang keabadian dunia tidak hanya menghina ortodoksi
tetapi juga menghina doktrin-doktrin sendiri yang dikembangkan dengan perhatian
istimewa kepada Islam, seperti misalnya doktrin tentang kenabian. Namun barang
kali tujuan teologisnya yang terbesar adalah penolakannya terhadap kebangkitan-kebangkitan tubuh. Akan tetapi pemikirannya di bidang kedokteran menjadi
rujukan bahkan dipergunakan buku-buku karangannya itu sebagai textbook, diberbagai universitas Barat
dan Timur.
Karya-karya lbnu Sina diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin di Spanyol pada pertengahan abad ke 6 K ke- 12 M.
Pengaruh pemikirannya di Barat telah mendalam dan terbentang luas. Pengaruh lbn
Sina di Barat mulai merembes secara nyata sejak masa Albert yang agung, Santo
dan guru termasyhur St.
Thomas Aquines. Metafisaka dan teologi Aquines
sendiri tak dapat dimengerti tanpa
pemahaman tentang jasa yang ia terima dari lbn Sina. Semua orang dapat melihat
pengaruh lbn Sina bahkan juga dalam karya-karya Aquines mutakhir dan terbesar seperti Summa Theologica dan Summa
contra Gentiles.[33]
C. Penutup
lbnu Sina adalah ilmuan muslim yang
mahir di banyak bidang seperti kedokteran, politik, kesenian, dan filsafat. la
juga seorang yang produktif menelurkan karya. Sebagai seorang ilmuan yang
berhasi) menulis sekitar dua ratus lima puluh karya, di antara karyanya yang
paling masyhur adalah "Al-Qanun fit-Thibb"
yang merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur.
Buku ini di terjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di
Universitas Barat. kitab ini selain lengkap, disusun secara sistematis. Dalam
bidang materia medica, lbnu Sina juga telah banyak menemukan bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga, dimana
tumbuh-tumbuhan banyak membantu tcrhadap beberapa penyakit tertentu seperti radang selaput otak (miningitis).
lbnu Sina juga seorang ilmuan yang
pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali
mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat
tali pusarnya. Dia jugalah yang mula-mula mempraktekkan pembedahan
penyakit-penyakit bengkak yang ganas, dan menjahitnya. Dia juga terkenal
sebagai dokter ahli jiwa dengan cara-cara modern yang kini disebut psikoterapi.
Karya keduanya adalah
ensiklopedinya yang monumental "Kitab As-Syifa".
Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik
dalam Islam. Kitab ini terdiri dari 18 jilid berisikan uraian tentang filsafat
yang mencakup empat bagian, yaitu: ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.
Dalam kitab ini juga ditemukan beberapa pemikirannya tentang pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Amin Hoesin, Oemar, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1975.
Ahmad, Zaenal Abidin, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, Jakarta: Bulan
Bintang, 1949.
Dasoeki,Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam
(Semarang : Dina Utama Semarang,
1993.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta. Bulan Bintang, Cet.Vl, 1996.
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Penj.
Yudian Wahyudi Asmin, Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Cet. Ill, 2004.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Penerbit Gaya
Media Pertama, 2002.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
______________,
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1985.
Poerwantana dkk, SelukBeluk Filsafat Islam, Bandung . Rosda Offset, 1988
Rahardjo, M. Dawam, Insan
Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam ", Jakarta : Pustaka
Grafitipers, 1987.
Sina, Ibnu, an-Najah: ft I al Hikmah al-Mantiqiyah wa al Tabi'iyyyah wa al
Ilahiyyah, disyarah
oleh Majid Fakhri, Beirut: Dar
al Afaq al-Jadidah, t.t.
Ya'kub, Hamzah, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, Jakarta;
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.
[3] Ibid, h. 116-117
[4] H.
Zaenul Abidin
Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan
Fllosuf Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang. 1949), h. 49.
[6] Ibid.
[9] Hamzah
Ya'kub, Filsafat Agama: Titik Temu akal
dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992). h. 41.
[10] Ibid
[11] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Pcnetbit Universitas Indonesia,1985, cet.V), h. 34-35.
[12] Hasyimsyah,
Filsafat Islam, (Jakarta: Pcnerbit
Gaya Media Pertama, Ct. VI, 2002), h. 72-73.
[13] Ibid
[15] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Penj. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, Ct. ll,
2004), h. 120-121
[16] Hamzah
Ya'kub, h. 42.
[17] Ibid
[18] Thawil
Akhyar Dasoeki.
Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Scmarang : Dina Utama Scmarang, 1993). h. 37-39.
Lihat juga Poerwantana dkk. Seluk
Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Orfscl. 1988). h, 146.
[19] M.
Dawam Rahardjo. Insan Kamil "Konsepsi Manusia Menurut Islam", (Jakarta : Pustaka Grafilipcrs. 1987). h. 62.
[20] Istilah
Emanasi ini mendapat penafsinan sebagai
"memancar'. "mengalir", dan 'mclimpah" Lihat M. Dawam
Rahardjo. Insan Kamil, h. 62.
[21] Ibid. h. 62-64.
[22] Ibn
Sina, an-Najah: fil al llikmah
al-Mantiqiyah wa al Tahi 'iyyyah wa al
llahiyyah. Disyarah oleh Majid Fakhri (Beirut: Dar al Afaq al-Jadidah. t.t.), h. 280
[24] Dalam
tcori umum.
scsuatu yang
bcrpikir
sclalu membutuhkan
yang dipikirkan. atau yang bergerak selalu membutuhkan yang digerakkan. namun "berpikir" nya Tuhan tidak memerlukan scsuatu yang lain. Scpcrti yang diungkapkan olch Ibn Sina dalam kilab an
Najah (h. 280
) bahwa:
(Apabila kila pikirkann scbcntar kita akan mengetahui yang bcrfikir pasti membutuhkan yang dipikirkan, Akan tetapi proposisi ini tidak bcrarti bahwa yang dipikirkan
tersebut adalah sesuatu yang lain dari yang berfikir, juga bahwa yang menggcrakkan membutuhkan scsuatu yang digcrakkan. Namun proposisi
ini tidak mengaharuskan bahwa yang bergcrak itu adalah scsuatu yang selain yang menggerakkan tersebut. Karena
itu kita bisa mcngatakan bahwa sesuatu bergerak dengan dzatnya kccuali ada bukti scbaliknya.
Dan tidak menjadi harus bahwa yang bergcrak itu berbeda atau lain selain yang menggcrakkan tersebut)
[25] Peniadaan
tujuan wajib
al wujud terhadap
penciptaan segala maujudat bermaksud untuk mcngatakan bahwa dzat wajib al wujud tidak banyak
(tidak bcrbilang)
akan tetapi tunggal.
[27] Mcnurut Ibn Sina tidaklah mungkin
wajib al wujud memikirkan sesuatu dari sesuatu, sebab jika demikian maka
dzatnya terdiri dari sesuatu selain dirinya terhadap dirinya. Hal ini
diungkapkan Ibnu Sina pada tulisannya (kitab an Najah h. 283)
(Tidaklah boleh/mungkin bahwa wajib al wujud memikirkan/memahami
sesuatu dari sesuatu selain dirinya. karena kalau demikian maka dzatnya terdiri
dari sesuatu apa yang ia pikirkan. yang berakibat kepada bahwa ia terdiri dari
beberapa. Ataupun terlarang untuk berpikir hingga Ia bukan wajib al wujud dari
segala sisi pandang. dan itu mustahil. Karena wajib al wujud tidak mengalami
sualu keadaan atau perkara di luar diriNya. Atau Ia mengalami keadaan yang itu
lidak bukan dzatnya (tidak berasal dari dzatNya) akan tetapi selain diriNya, karena kalau tidak
demikian maka ada pengaruh sesuatu selain dirinya terhadap dirinya).
[28] Ibnu Sina. Kitab an-najah,
h. 311.
[29] Mcnurut
Ibn Sina
segala sesuatu mempunyai illah- illah disebut sebagai al-fail dan asas gcrakan
scpcrli tukang
kayu untuk terjadinya kursi. Illah
segala sesuatu yang dibutuhkan agar sesuatu dapat diterima sebagai sesuatu
(unluk menjawab pertanyaan "apakah yang dimaksud dengan sesuatu itu?").
[30] Jiwa
menurut Ibn Sina diwujudkan setiap kali muncul tubuh yang siap dan sanggup
menerimanya. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak, dan pengendali
tubuh. Sesungguhnya substansi jiwa adalah sesuatu yang ghaib, yang tidak tertangkap oleh
indera dan waham.
[31] "Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Ibn Sina jiwa manusia akan
kekal, tetapi jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak akan kekal, ia akan
binasa bersama dengan matinya badan. Tetapi jika sebelum berpisah dengan badan
jiwa manusia telah mencapai kesempumaan, maka ia selamanya dalam kesenangan.
Jika jiwa manusia berpisah dari badan dalam keadaan tidak sempurna, sebab
ketika bersatu dengan badan ia selalu di pengaruhi oleh hawa nafsu jasmani, ia
akan hidup dalam penyeselan dan terkuruk selamanya di akhirat
[32] Kelebihan
jiwa manusia dari jiwa binatang adalah adanva potensi akal praktis dan akal
teoritis ini pada manusia. Menurut Ibnu Sina. sifat manusia terganlung pada
jiwa mana dari ketiga macam jiwa tersebut yang paling berpengaruh pada dirinya.
la akan bersifat seperti malaikat jika jiwa bcrpikirnya berpengaruh bcsar dari
jiwa tumbuhan dan binatangnya. Bahkan ia juga akan mendekati kesempurnaan jika
jiwa teoritisnya sampai pada taraf akal aktual, apa lagi pada taraf akal
mustafad.
Komentar
Posting Komentar