Pesantren dan Karakteristiknya



A. Pesantren dan Karakteristiknya
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia. Pesantren telah mengalami perkembangan dari segi jenjang dan jenisnya. Seiring dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan.
Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, musholla, masjid, dan sekolah menjadi pesantren.
Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut sebagai pesantren yaitu: adanya pondok, masjid, kiyai, santri dan pengkajian kitab Islam klasik (kitab kuning).[1] Sedangkan Kafwari sebagaimana dikutip oleh Tafsir telah mangidentifikasikan pesantren dan membagi pola pesantren menjadi empat pola:
1.      Pesantren pola satu, yaitu: pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen yang berupa masjid dan rumah kiyai. Pesantren ini masih sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan sistematik.
2.      Pesantren pola dua, yaitu: sama dengan pola satu ditambah dengan pondok bagi santri.
3.      Pesantren pola tiga, yaitu: sama dengan pola dua ditambah dengan adanya  madrasah dan ditambah dangan pengajaran kitab kuning klasik 
4.      Pesantren pola empat, yaitu: pesantren pola tiga ditambah dengan adanya keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang dan sebagainya.[2]

Pada awal perkembangan pendidikan pesantren merupakan lembaga dan penyebaran Agama Islam. Selanjutnya karena tumbuh dari dalam dan untuk masyarakat, pesantren telah berkembang untuk melayani berbagai kebutuhan masyarakat. Di samping ilmu pengetahuan lebih dari itu pesantren telah dapat menjadi simbol yang menghubungkan dunia pedesaan dengan dunia luas, bahkan politik tandingan ketika partai politik modern belum menyentuh pedesaan.
Dengan perkembangan pesantren sejak dua dasawarsa terakhir ini pesantren memperoleh perhatian yang cukup besar dari jumlah kalangan bahkan kini pesantren mulai dipandang sebagai satu lembaga pendidikan yang handal. Pesantren tumbuh semakin subur dengan berbagai corak programnya, lembaga pemerintah dan swasta punya tanggung jawab mengembangkan pesantren yang diyakini dapat memberikan konstribusi pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan optimalisasi potensi-potensi.
Munculnya fenomena pesantren modern sebagai konsekuensi dari berbagai perubahan yang telah dilakukan dengan dimasukkannya pelajaran-pelajaran umum ke dalam kurikulum pendidikan agama seperti pelajaran matematika, fisika, bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bidang studi umum lainnya dan tidak juga menafikan studi ilmu-ilmu keislaman. Maka santri tidak akan buta dengan ilmu umum, sehingga pesantren mempunyai andil dalam pembangunan.
Pesantren kebanyakan berbasis di pedesaan dan perkiraan pengaruhnya berakar di masyarakat.[3] Atas dasar kesadaran akan kenyataan mayoritas rakyat, belum menggembirakan dalam mengaktualisasikan daya tahan terhadap perkembangan masyarakat, beberapa pesantren merintis program pembinaan sumber daya manusia melalui pesantren bentuk salafiyah, dimana pesantren masih tetap memperhatikan sistem pendidikan khas pesantren, baik kurikulumnya meliputi ilmu-ilmu agama Islam dan Bahasa Arab dengan menggunakan kitab klasik berbahasa Arab, dan sangat sedikit diajarkan mata pelajaran umum.[4]
Agar pesantren dapat tetap memainkan perannya dengan eksis, maka keberadaannya perlu mendapat perhatian yang lebih baik. Lembaga pendidikan pesantren perlu mendapat dukungan moril dan materil untuk dapat mengembangkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan mengatasi segala kelemahan serta tantangan yang dihadapinya.
            Berkenaan dengan hal tersebut, sejumlah cendikiawan muslim telah mengadakan serangkaian pengkajian dan penelitian terhadap keberadaan pesantren dalam kaitannya dengan tuntutan perkembangan dunia pendidikan dan pembangunan. Dari pengkajian dan analisa yang telah dilaksakan oleh beberapa sarjanawan, diketahui bahwa selain memiliki sejumlah kelebihan, pesantren juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu diantaranya adalah berkaitan dengan masalah manajemen. Hal seperti ini dijelaskan oleh Nurchalish Madjid, bahwa sebagian pesantren memiliki kepemimpinan yang kurang demokratis, bersifat personal, feodalisme dan banyak yang kurang memiliki kecakapan-kecakapan teknis.[5]
            Seiring dengan pandangan diatas, Jusuf Amir Feisal mengemukakan beberapa kelemahan pondok pesantren, yakni antara lain; (1) banyak pesantren yang tidak dapat mencapai tujuan pendidikannya dalam mencetak kader ulama yang sekaligus sebagai pemimpin umat dan bangsa. (2) Umumnya pendidikan pesantren tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai (fisik, personal, finansial). (3) Pengelolaan pesantren cenderung kurang profesional.[6]
Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren,maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi keseluruhan sistem pendidikan:seperti materi pelajaran dan metode pengajaran,prinsip-prinsip pendidikan,sarana dan tujuan pendidikan pesantren,kehidupan kiai dan santri serta hubungan keduanya.
1.      Materi pelajaran dan Metode Pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan islam,pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama,sedangkan sumber kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dari bahasa arab.Pelajaran agama yang dikaji dipesantren adalah Al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsirnya,aqaid dan ilmu kalam,fiqih dan usul fiqih,hadits dan mustholahul hadits,Bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti nahwo, sharaf, bayan, ma’ani, badi‘ dan ‘arud ,tarikh, mantiq dan tasawuf.   Kitab yang dikaji di pesantren umumya kitab-kitab yang di tulis dalam abad pertengahan, yaitu abad ke-12 sampai dengan abad ke-15 atau lazim disebut dengan “Kitab Kuning“.[7]
Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan,sorogan,dan hafalan. Metode Wetonan adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran.Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu.
Metode sorogan adalah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya, kiai membacakan dan menerjemahkannya kalimat perkalimat, kemudian menerangkan maksudya.
Metode Hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.   Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau Nazam[8].
Beda halnya jika martin berbicara tentang kitab kuning secara umum. Pastinya ia akan sependapat, bahwa kitab yang diajarkan pada masa perkembangan pesantren sangatlah komprehensif.   Pasalnya, di era perkembangan pesantren mulai dikembangkan pesantren salafiyah, karena mengajarkan kitab-kitab kuning terutama fiqh, tafsir dan tasawuf, adapula pesantren alat, karena menitik beratkan kajian nahwu sharaf, serta ada pesantren al-qur’an yang mengkhususkan diri pada hafalan kitab suci dan ilmu qiroat (bacaan Al-Qur’an).
Momentum Pembentukan Tradisi kitab kuning di Indonesia menurut Azyumardi Azra menemukan momentum terkuatnya sejak awal abad ke-19, yakni ketika pesantren-pesantren,surau-surau,pondok-pondok mulai berkembang dan mapan sebagai institusi pendidikan islam tradisional diberbagai daerah di Nusantara.[9]
2.      Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal.   Umumnya, kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiai nya,maka ia berpindah ke kitab yang lain.  Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal,tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai paling tinggi.[10]
3.      Fungsi Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama.Sementara Azyumardi azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional.  Pertama,transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, Kedua, Pemeliharaan Tradisi keislaman dan ketiga, reproduksi ulama.[11]
4.      Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatannya yang holistik,pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya.  Setidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren :
1)          Theocentric
2)          Sukarela dalam pengabdian
3)          Kearifan
4)          Kesederhanaan
5)          Kolektivitas
6)          Mengatur kegiatan bersama
7)          Kebebasan terpimpin
8)          Kemandirian
9)          Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi
10)      Pengamalkan ajaran agama
11)      Belajar di pesantren bukan untuk mencari Ijazah
12)      Restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan do’a dari kiai.[12]
5.      Sarana dan tujuan Pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan.  Sejak dulu lingkungan atau kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total.  Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah namun,  kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.  Sarana belajar misalnya, masih tetap dipertahankan seperti sedia kala, dengan duduk diatas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai menyampaikan pelajaran.
Mengenai tujuan pesantren,sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif. Antara satu pesantren dengan pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.   Adanya keberagaman ini menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan independensinya.
6.      Kehidupan Kiai dan Santri
Kehidupan di pesantren berkisar pada pembagian kegiatan berdasarkan shalat lima waktu.   Dengan sendirinya pengertian waktu pagi, siang dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian diluar, dalam hal inilah misalnya sering dijumpai santri yang menanak nasi ditengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam matahari.  Dimensi waktu yang unik ini tercipta karena kegiatan pokok pesantren dipusatkan pada pemberian pengajian kitab teks (Al-Kutub Al-Muqararah) pada setiap selesai sholat wajib.  Demikian pula ukuran lamanya waktu yang dipergunakan sehari-hari;  pelajaran diwaktu tengah hari dan malam lebih panjang dari pada diwaktu petang dan subuh.
Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang diberikan secara berjenjang dan berulang-ulang.   Masing-masing kitab dipelajari bertahun-tahun bahkan pengajaran dipesantren tidak mengenal kata tamat atau selesai.
Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya, sebagai sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan pada umumnya.
Setidaknya ada delapan ciri kehidupan di pesantren, Ciri-ciri ini  merupakan pesantren dalam bentuk yang masih murni belum adanya pengadopsian sistem pendidikan moder, ciri –ciri tersebut adalah  :
a.       Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya
b.       Kepatuhan santri kepada kiai
c.       Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren
d.      Kemandirian
e.       Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan
f.       Disiplin sangat dianjurkan
g.      Berani menderita untuk mencapai satu tujuan
h.      Pemberian Ijazah.[13]


[1]Zakamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Kehidupan Kiyai (Jakarta: LP3S, t.t.),       h. 44.
[2]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung: Rosda Karya), h 10.
[3]M. Dawam Rahardjo, Perkembangan Masyarakat dalam Persfektif Pesantren (Jakarta: Cemara Indah, 1990), h. 12.
[4]Depag RI, Petunjuk Teknis Pondok Pesantren (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam. 2002), h. 5.
[5] Nurchalis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Sbuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 95.
[6] Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 189.
[7] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, ( grasindo,yakarta,2001 )h. 107
[8] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan …..h. 107-108
[9]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam;Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta,Logos, 2002) h.114
[10] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan …..h. 110
[11] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan …..h. 112
[12] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan …..h. 113
[13] Abuddin Nata ,Sejarah Pertumbuhan dan …..h. 120

Komentar

Postingan populer dari blog ini

pemikiran muhammad Ali Pasyaa

Cot Girek Koe